MENYAMBUT Hut ke-45 Ngastina, Istana Gajahoya menyelenggarakan dengan cara sederhana saja, maklum musim Corona. Tak ada malam tirakatan, karena rakyat Ngastina banyak yang kesrakat (miskin) dadakan. Pidato kenegaraan yang biasanya bisa satu jam lebih, kali ini hanya 30 menit saja. Itu pun yang bikin bukan Prabu Jokopit sendiri, melainkan Patih Haryo Sengkuni.
Lagi-lagi isi pidato dikritisi Durmagati. Dalam kondisi ekonomi Ngastina minus 7,5 persen, kok dengan jumawa tahun 2021 mendatang pertumbuhan ekonomi negara dipatok meningkat sampai 7 persen pula. Tentu saja ini ditertawakan Durmagati adik sendiri. Dia menyebutnya tim ekonomi Prabu Jokopit sebagai tim kocluk! Itu istilah modifikasi “dungu” yang sudah dipatenkan oleh Rocky Gerung.
“Ketika banyak wayang di-PHK, ketika industri tak bergerak, sementara RAPBN tak mencapai target, kok bisa-bisanya mematok pertumbuhan ekonomi 7 persen. Ini sungguh tidak realistis.” Kata Durmagati sambil berkacak pinggang.
“Bisa saja kan didoping dengan pinjaman luar negeri?” pancing pers.
“Utang Ngastina sudah seleher, masak mau bikin utang lagi?”
Tapi begitulah, sepedas apapun kritikan Durmagati, Prabu Jokopit membiarkan saja, sebab jika sampai diproses hukum, akan ditertawakan dalang sekalian wiyaga penabuh gamelan. Hari gini kok masih ada yang membungkam wayang berpendapat. Celakanya, sementara Prabu Jokopit mendiamkan saja para pembully-nya, tapi aparat sok bertindak sigap. Yang ngritik Jokopit terlalu keras langsung diciduk. Jika ada pengecualian ya Durmagati itu tadi, karena dia orang dekat atau sentana dalem Istana.
Tiba-tiba ada berita mengejutkan lewat mulut Patih Sengkuni bahwa di sela-sela upacara bendera Hut ke-45 di halaman Istana Gajahoya, akan diserahkan pula bintang Mahaputra Ngayawara untuk Durmagati. Pemberian tanda jasa ini penting, karena Durmagati adalah satu-satunya pengeritik paling konsisten. Dia tetap berani mengeritik meski sudah berada dalam bunderan kekuasaan.
“Kenapa Durmagati yang sudah masuk dalam bunderan kekuasaan, kok masih dibolehkan mengeritik Istana Gajahoya bahkan dapat bintang tanda saja pula?” tanya pers dari koran-koran yang oplagnya makin menyusut.
“Karena masuk bunderan kekuasaan itu lebih mudah, ketimbang masuk Bunderan HI,” jawab Patih Sengkuni asal-asalan.
“Jadi itu artinya Durmagati hanya sekelas Bajaj” kejar wartawan,
“Itu yang ngomong kamu lho ya, bukan opini Patih Ngastina. Jangan salah kutip.”
Secara anatomi Durmagati memang mirip ikan buntal tapi suara Bajaj solar yang sangat berisik dan mengganggu lingkungan. Karenanya pers konvensional dan media online sama berisiknya beropini bahwa penganugerahan bintang Mahaputra Ngayawara untuk dia sama sekali tidak tepat dan tidak layak. “Memangnya tak ada tokoh lain?” begitu kata koran-koran.
Di tengah kontroversi, akhirnya Durmagati datang ke Istana Gajahoya dengan pedenya. Setelah penyerahan tanda jasa dia lalu bersantap bersama Prabu Jokopit yang kakak kandung sendiri. Makannya ekor alias nafsu banget, sehingga perut buntalnya semakin maju ke depan.
“Mas Jokopit nggak tersinggung hampir setiap hari saya kritik?” Durmagati bertanya sambil mbrakot paham ayam goreng bacem.
“Oh enggak. Justru kritik itu obat mujarab. Yang penting, lamun sira landhep aja natoni, lamun sira cepet aja nglancangi,” kata Prabu Jokopit sarat dengan filosofi Kejawen Sunan Kudus.
Demikianlah, semenjak Durmagati dapat bintang Mahaputra Ngayawara, nama dia semakin ngetop. Bahkan kelompok KAMI dari Indonesia mengajaknya bergabung, untuk merintis pendirian KAMI wilayah Ngastina. Tapi Durmagati menolak, dia mau jadi pengeritik negara wayang saja, bukan negara manusia. Lagi pula target Durmagati sekedar mengritik, bukan mau ambil alih kekuasaan. Ini gerakan moral yang sebenarnya, bukan gerakan orang-orang yang sakit hati.
Sebagai penerima bintang Mahaputra Ngayawara, kabarnya Durmagati otomatis dapat kapling Bantala Retna. Mendadak teman dan sahabatnya kirim WA dan telpon, pengin nggentiin atau membeli. Sebab di mata para rekan, kapling tersebut pastilah di daerah elit yang sudah lengkap fasilitasnya, baik jalanan maupun fasumnya. Pemilik tinggal membangun sesuai selera sepanjang keuangannya cukup.
“Hai Dur, ketimbang nganggur boleh nggak kaplingmu dari negara saya beli. Tapi sama temen harganya jangan mahal-mahal dong.” Ujar seorang teman lewat WA.
“Semeter Rp 10 juta, mau? Tapi luasnya hanya 1 x 2 M saja, dan baru bisa dimanfaatkan ketika sudah meninggal.” Jawab Durmagati menahan ketawa geli.
“Oo, taman pahlawan? Mending nggak jadi deh…..” jawab si penelepon di seberang, dan sudah tidak menelpon lagi.
Sejak menerima bintang Mahaputra Ngayawara Durmagati selalu diundang ke Istana Gajahoya manakala berlangsung peringatan hari besar keagamaan dan negara. Tapi ketika Perang Baratayuda terjadi, meski nama Durmagati tak masuk skenario, dia sewaktu-waktu harus siap menjadi pasukan cadangan.
Sekian puluh tahun kemudian, ketika usaha pengambilan kembali Ngastina dari Kurawa selalu gagal, perang Baratayuda Jayabinangun terjadilah. Keluarga Pendawa bertempur melawan bala Kurawa. Sebagaimana yang telah termaktub dalam Kitab Jitapsara, siapa lawan siapa, semua sudah diatur. Namun demikian bukan berarti sosok yang tak disebut dalam skenario bisa berleha-leha bebas dari kewajiban negara.
“Kakang Durmagati nggak masuk skenario, soalnya selalu mengritik pemerintah. Itu artinya rasa nasionalisme sampeyan masih diragukan.” Sindir wayang akar rumput.
“Siapa bilang? Biar nggak masuk skenario tapi saya siap mati demi negara kok.” Jawab Durmagati berapi-api.
Pada hari ke-6 Baratayuda, Raden Gatutkaca tewas oleh senjata Kunta Adipati Karno. Sudah barang tentu Werkudara tak menerimakan akan kematian putra kesayangannya tersebut. Dengan gada Rujakpolo dia maju ke medan pertempuran. Siapapun prajurit Ngastina yang ditemui langsung digebuk gada tersebut, langsung nungging dan tewas.
Durmagati sebagai penerima bintang Mahaputra Ngayawara, merasa terpanggil untuk maju. Jika tak dicegah amukan Bima niscaya akan semakin banyak jatuh korban dari kubu Kurawa. Maka dibantu oleh sejumlah adiknya dia masuk ke area Tegal Kurusetra.
“Hai Bima, jangan merasa laki sendiri kamu. Ayo hadapi aku Durmagati, penerima bintang Mahaputra Ngayawara…..” ujar Durmagati menantang Bima.
“Kakehan omong! Nih rasakan Rujakpolo.”
Sekali gebuk oleh gada Rujakpolo, Durmagati langsung ambruk dan pecah batok kepalanya. Begitu pula sejumlah adiknya sebagaimana Durgempa, Jala Sentana, Dursaha, Durmuka, Durdarso dan Durbahu. Maka sesuai dengan janji pemerintahan Ngastina, janazah Durmagati dimakamkan di TMP Bantala Retna. Harapannya, dia masuk suwarga tunda sanga atau janatuna’im. (Ki Guna Watoncarita-tamat)
