PAGI itu Rani (25) sudah menyiapkan tampah untuk menjajakan dagangannya, berupa lontong berisikan sambel. Dijajakan dari rumah ke rumah penduduk di kampungnya. Tapi baru saja hendak beranjak meninggalkan rumah, tiba-tiba terdengar suara teriak kesakitan suaminya, Egi (31). Tak lama kemudian terbatuk-batuk, dan keluarlah darah segar dari mulut suami. Ditadahinya muntahan darah itu dengan kedua tangannya.
Rani kembali masuk rumah. Diletakkan tampah jualan lontongnya, dan dia bergegas menolong Egi yang tengah didera derita. Diambilnya ember kecil berisi air. Muntahan darah suami itu dimasukkan ke dalamnya, lalu mulut disekanya dengan kain. Termasuk juga kedua tangan yang belepotan darah itu.
“Kenapa lagi, Bang Egi? Sudah diminum kan, obatnya?” kata Rani kemudian, sambil membantu suami tidur di ranjangnya nan lusuh, degan posisi setengah duduk bersandarkan tumpukan bantal tinggi.
“Sudah. Tiba-tiba dadaku terasa sakit, susah untuk bernapas.” Kata Egy, dengan napas terputus-putus. Wajahnya pucat pasi laksana kertas, dadanya nampak turun naik.
Hampir setiap hari Egi harus menderita seperti itu. Sebentar-sebentar muntah darah. Kata dokter yang memeriksanya, dia menderita paru-paru akut, komplikasi dengan gangguan usus lambung. Derita ini dialami sejak setahun lalu. Egi dulu memang perokok berat, sehari bisa habis dua bungkus. Minum kopi terlebih-lebih. Maka kata dokter, “Hentikan merokok dan ngopinya ya Mas Egi, Insya Allah cepat sembuh.”
Kondisi rumahnya yang berhimpitan dengan bangunan lain, bangunan berdinding bambu berukuran 6 X 10 itu memang terasa kumuh. Lantainya yang telanjang tanpa dilapis semen atau keramik, menjadikan rumah Egi ini selalu lembab. Lebih-lebih bila banjir datang menyapa, Egi-Rani beserta ketiga anaknya harus mengungsi. Ini sering terjadi. Padahal orang berpenyakit paru-paru akut semacam Egi harus menghindari tempat lembab.
Penyakit paru-paru Egi menjadi akut bermula dari kehidupanya sebagai pemulung beberapa tahun lalu. Setiap hari tinggal di ruang lembab, kumuh dan bahu, menjadikan penyakit semakin menggerogoti paru-parunya. Paling menyedihkan bagi Rani jika suami ngedrop tiba-tiba, sedang uang tak ada di kantong, paling larinya ke mantri. Pak Kades pernah datang menyarankan agar Rani segera mengurus BPJS Kesehatan, sehingga biaya perawatan bisa dilayani secara gratis.
“Kini saya sedang mengurus semua persyaratannya, semoga cepat jadi,” ujarnya. Kata Rani, bantuan sangat berarti ketika LPM Dompet Duafa datang mengulurkan tangan sejak beberapa bulan lalu. Biaya rumahsakit di RSUD Serang maupun RS Husada Rangkasbitung, ditanggungnya. Bahkan LPM juga terus membantunya sampai Egi sehat dan bisa kembali mencari nafkah seperti biasa.
Beban ekonomi keluarga Egi memang sangat berat. Bekerja sebagai tukang kusen di Malingping dengan gaji minim sangatlah tidak cukup. Egi harus naik angkot 3-4 jam sekali perjalanan. Dengan ongkos angkot minimal Rp 20.000,- PP dalam sehari, gaji Rp 500.000,- seminggu nyaris hanya capek di jalan. Dengan penghasilan seminim itu Egi harus membagi pula untuk biaya kedua anaknya yang masih duduk di kelas I dan II SD sangat tidak mencukupi.
Selama Egi terbaring sakit, Rani yang mengambil alih sebagai pencari nafkah. Setiap pagi dia berkeliling kampung menjajakan dagangannya, dengan keuntungan hanya Rp 20.000,- sehari. Ketiga anaknya di rumah diasuh oleh sang nenek, Ny. Eni Suehaini.
Egi Kurniawan yang asal Subang berkenalan dengan Rani Kanitya saat sama-sama menjadi pemulung di Peninggaran, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Mereka sama-sama duda dan janda dengan anak bawaan satu anak. Tapi karena perekonomian tak kunjung membaik, Rani mengajak suami mengais rejeki di kampung halamannya, Desa Muara Ciujung Timur, Kab. Rangkasbitung. Tapi baru beberapa bulan kerja sebagai tukang kusen penyakit datang menyapa Egi. (Galuh Edwinar).