DONALD Trump, mantan dan juga calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik terserempet tembakan di telinga kanannya saat tengah berkampanye di panggung terbuka di Butler, Pennsylvania, Sabtu (13/7) pukul 18:15 waktu setempat.
CNN melaporkan, pelakunya, Thomas Matthew Crook (pria, usia 20 tahun) melepas tembakan senapan beberapa kali dari atap gedung yang posisinya lebih tinggi dari podium di mana Trump berada, berjarak antara 120 sampai 150 meter.
Seorang warga yang menghadiri kampanye Trump untuk pilpres mendatang itu mengaku melihat seorang pria menenteng benda mirip senapan mengendap-endap memasuki gedung di dekat lokasi dan selang beberapa menit terdengar beberapa kali letusan.
Sementara agen khusus Biro Investigasi Federal AS (FBI) Kevin Rojek mengaku tak menduga pelaku bisa menembak berkali-kali ke arah Trump dari jarak yang cukup jauh, namun menurut dia, perlu investigasi berbulan-bulan untuk menarik kesimpulan tentang kejadian itu.
Pelaku yang menggunakan senapan organik atau standar militer dan polisi AS yakni AR-15 (lebih dikenal dengan M-16), membuat posisi Trump (berjarak 120 – 150 meter) pada jarak tembak efektif senapan (maks. 550 meter).
Selain itu, jika saja panggung yang digunakan Trump berorasi ada atapnya, tentu sniper (penembak runduk) pun akan kesulitan mengincar Trump dari lokasi ketinggian.
Sementara data FBI menyebutkan, tidak ada yang aneh pada profil medsos Crook, alumni Bethel Park School District (SMA) pada 2022. Selain cerdas, ia pendiam saat di sekolah dan kini bekerja sebagai assiten di panti jompo.
Mestinya Dinas Rahasia AS (Secret Service) dan instansi keamanan serta intelijen belajar dari penembakan yang menewaskan Pesiden John F Kennedy saat berkonvoi mengikuti parade di atas limousin dengan atap terbuka di Dallas pada 1963.
Pengamanan di Dallas tentu saja lebih sulit karena obyek yang dilindungi di atas kendaraan bergerak, sementara pada kejadian di Butler, Pennsylvania, Sabtu lalu, Trump dalam posisi statis di panggung.
Crook dan ayahnya terdaftar sebagai anggota Partai Republik atau “partainya” Trump dan ibunya anggota Partai Demokrat, sedangkan senapan yang digunakan menembak Trump yang dibeli dari ayahnya, juga menewaskan pria berusia 50 tahun.
Yang juga menimbulkan tanda tanya, kenapa aparat keamanan gagal menangkap pelaku hdup-hidup, karena kematiannya tentu bakal mempersulit upaya penelidikan dan penyidikan ke depannya.
Pengamanan VVIP bagi seorang kepala negara di negara adidaya AS yang mempunyai banyak kawan dan lawan tentu jauh lebih ketat dan canggih.
Sebelum sosok yang dilindungi tampil, mestinya ada tim pendahulu yang mensterilkan lokasi dan terus siaga sampai perhelatan usai, lagi pula, di gedung-gedung di AS tentu semuanya terpasang CCTV, dan menjelang helat, juga metal detector.
Dari perjalanan sejarah panjang AS dengan seluruhnya 46 presiden, sudah terjadi 12 kali upaya pembunuhan terhadap presiden atau mantan presiden di mana empat presiden di antaranya terbunuh, delapan presiden dan mantan presiden lolos termasuk Trump.
Kejadian pertama menewaskan Presiden Abraham Lincoln pada April 1865, lalu Presiden James Gartfield (Juli 1881) disusul Presiden Mc Kinley (Sept. 1901) dan terakhir Presiden John F. Kennedy pada Nov. 1963.
Sedangkan enam presiden yang lolos dari pembunuhan: Andrew Jackson (Jan. 1835) , Ronald Reagan (Maret 1981) , Franklin D. Roosevelt (Feb. 1933) , Gerald Ford (Sept 1922 dan Sept 1975) , Harry S. Truman (Nov. 1950) , George W. Bush (Mei 2005), sementara mantan presiden yang lolos dari pembunuhan adalah Theodore Roosevelt (Okt. 1972) dan Donald Trump (13 Juli 2024).
Belum diketahui motif pelaku upaya pembunuhan terhadap Trump, karena penyelidikan secara aktif dan berkelanjutan akan terus dilakukan oleh FBI. Trump sendiri dinyatakan sehat dan langsung pulang dari RS.
Namun sejumlah dugaan dan spekulasi bermunculan, mulai dari kemungkinan pelakunya mengalami gangguan jiwa, dendam pribadi sekedar mencari sensasi, atau kemungkinan ada keterlibtan pihak luar, lawan-lawan Amerika.
Kepala negara yang terbunuh
Selain empat presiden AS, sejumlah kepala negara terbunuh sejak awal abad ke-20 dengan berbagai motif pelakunya.
Raja terakhir Rusia Tsar Nikolai II Tsar Nikolai II dieksekusi bersama keluarganya oleh kaum Bolshevik di Ekatinburg pada 17 Juli 1918 karena mayoritas rakyat tidak puas di masa pemerintahannya.
Presiden Mesir Anwar Sadat dibunuh oleh kelompok Islamis militan saat menyaksikan parade militer di Kairo pada 6 Oktober 1981 karena mereka marah Sadat menandatangani perjanjian damai Camp David antara Mesir dan Israel.
Mantan PM India Indira Gandhi dibunuh pada 31 Okt.1984 oleh dua pengawalnya sebagai protes atas Operasi militer Blue Star yang diperintahkannya untuk mengusir militan Sikh bersenjata dari Harmandir Sahib (Kuil Emas) di Amritsar, Punjab, situs suci kaum Sikh.
Sementara mantan PM India lainnya Rajiv Gandhi dibunuh pada 21 Mei 1991 oleh seorang wanita pelaku bom bunuh diri bernama Thenmozhi Rajaratnam yang terafilasi kelompok teroris Sri Lanka Liberation of Tamil Eelam (LTTE) yang diperangi pasukan India.
PM Israel Yitzhak Rabin dibunuh da 4 November 1995 oleh Yigal Amir, seorang ekstremis sayap kanan Israel pada 4 Nov. 1995 karena dianggap sosok yang berperan penting dalam Proses Perdamaian Oslo, antara Israel dan Plestina (PLO) pada 1990-an.
Sedangkan Presiden Libya Moammar Khadafi yang memerintah negerinya selama 40 tahun dengan tangan besi dibunuh oleh rakyatnya di dekat desa kelahirannya, Sirte pada 20 Okt. tahun 2011 dan Mantan PM Pakistan Benazir Bhutto terbunuh akibat serangan bom bunuh diri oleh Bilal, pemuda berusia 15 anggota kelompok garis keras Taliban pada 27 Desember 2007.
Indonesia cukup beruntung, mengingat sepanjang kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945 dipimpin oleh tujuh presiden, baru sekali terjadi upaya pembunuhan terhadap Presiden pertama Ir. Soekarno.
Enam granat dilemparkan oleh sekelompok anggota Darul Islam/ Tetara Islam Indonesia (DI-TII) saat presiden meninjau sekolah Perguruan Tinggi Cikini di Jl. Cikini Raya 76, Jakarta pada 30 Nov. 1957. Presiden dan puteranya, Guntur serta putrinya, Megawati selamat, namun sepuluh siswa tewas dan 48 luka-luka.
Pengamanan untuk VVIP terutama kepala negara makin rumit dan sulit di era kemajuan teknologi now, karena aparat keamanan dan penjahat sama-sama memanfaatkan hasil kemajuan teknologi.
Berbagai peralatan canggih di bidang siber, drone, alat deteksi dan alat pembunuh yang dikendalikan dari jauh bisa dimanfaatkan oleh pelaku, sementara tindakan nekat seperti aksi bunuh diri juga masih sukar ditangkal.
Kebiasaan Presiden Jokowi blusukan, berinteraksi secara dekat dan berfoto selfie dengan rakyat jelata, mungkin juga perlu pengamanan lebih ketat dan lebih jeli guna mengantisipasi hal-hal tak diinginkan.
Waspada dan waspada! (CNN/berbagai sumber/ns)