Filantropi Modal Sosial Kurangi Kemiskinan

Chiki Fawzi tunaikan wakaf Rp10.000 di konter Dompet Dhuafa BXC. Tangerang Selatan/ Foto: dompet dhuafa

JAKARTA – Peneliti Ahli Madya di Pusat Riset Ekonomi dan Keuangan BRIN, Joko Suryanto, mengatakan bahwa dana filantropi bisa menjadi modal sosial untuk membangun hubungan yang lebih erat antara masyarakat dan membantu mengatasi masalah ekonomi di lingkungan sosial.

Menurut Joko, kemiskinan adalah masalah kemanusiaan yang sulit diselesaikan dan kemungkinan akan terus ada. Salah satu cara untuk mengurangi kerentanan sosial tersebut adalah dengan memanfaatkan dana filantropi.

“Filantropi itu bukan hanya sekadar memberi uang sehingga terjadi proses pembangunan, tetapi juga menginspirasi inovasi, mendorong kolaborasi, menciptakan perubahan sosial yang positif,” kata Joko dilansir dari Antara.

Joko menjelaskan bahwa dana filantropi, sebagai modal sosial, berlandaskan pada nilai kebaikan, keikhlasan, dan kasih sayang antar sesama. Di Indonesia, budaya filantropi sudah banyak dilakukan oleh berbagai komunitas masyarakat.

Hal ini terlihat dalam survei World Giving Index 2023, yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia, dengan mempertimbangkan faktor seperti membantu orang yang tidak dikenal, jumlah donatur, dan partisipasi sukarelawan.

Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, Joko menekankan bahwa dana filantropi Islam memiliki potensi besar dalam membangun kesejahteraan masyarakat, terutama melalui dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf), yang mendukung ekonomi produktif.

Mengacu pada data dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Joko menyebutkan bahwa potensi dana zakat pada 2023 diperkirakan mencapai Rp33 triliun, namun realisasi pengumpulannya baru sekitar 10 persen.

Selain itu, potensi wakaf di Indonesia dilaporkan oleh Kementerian Agama mencapai Rp180 triliun dengan penambahan tahunan sebesar Rp1,8 triliun.

“Pengelolaan wakaf di Indonesia, walaupun sudah ada seperti Dompet Dhuafa, tetapi pada praktiknya ini masih cukup tertinggal walaupun potensinya sangat besar. Selain itu, untuk mengukur dampak terhadap pembangunan sosial ekonominya juga belum banyak yang melakukan kajian-kajian,” kata Joko.

Ia menambahkan bahwa tantangan utama dalam filantropi adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang konsep dan manfaat filantropi, baik dalam bentuk zakat maupun wakaf.

Di samping itu, regulasi dan pelaksanaan yang belum maksimal serta koordinasi antara pemerintah dan lembaga filantropi perlu ditingkatkan.

“Penggunaan teknologi informasi dalam pengumpulan dana filantropi juga masih sangat terbatas. Meskipun saat ini sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mendorong penggunaan teknologi informasi, namun hal ini juga masih perlu untuk ditingkatkan,” katanya.

Joko juga menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang mengelola dana filantropi dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan yang memadai.

Terakhir, Joko mencatat bahwa budaya sosial Indonesia yang kuat masih membuat banyak dana filantropi disalurkan secara langsung tanpa melalui lembaga resmi, yang membuat potensi dana tersebut tidak tercatat dengan baik. Hal ini memengaruhi penerimaan dan pengelolaan dana filantropi oleh lembaga-lembaga seperti Dompet Dhuafa dan Baznas.

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here