Memprihatinkan memang, apa yang terjadi di negeri ini. Bagaimana bisa, di era serba digital dan di tengah kemajuan teknologi informatika, masih ada saja yang percaya dengan orang yang bisa melipatngandakan uang secara gaib.
Pertanyaannya kan sederhana. Jika seseorang mampu menggandakan uang, logikanya kan ia bisa mencetak uang sebanyak mungkin untuk kepentingan dirinya, tidak perlu melakukan praktek penggandaan uang milik orang lain.
Beberapa hari ini media cetak khususnya on-line dan TV diramaikan oleh tayangan mengenai sosok Taat Pribadi (46) alias Dimas Kanjeng yang memimpin padepokan di Desa Wangkal, Kec. Gading, Probolinggo, Jawa Timur yang disangkakan melakukan tindak kriminal yakni melakukan praktek penggandaan uang, dalang pembunuhan terhadap kedua santrinya, Abdul Gani dan Ismail Hidayah serta penistaan terhadap agama.
Dari tayangan on-line dan TV-TV, tampak sang Kanjeng yang duduk dikelilingi para cantrik di salah satu ruang padepokannya, merogoh tumpukan aneka mata uang kertas dan juga untaian perhiasan emas, intan-berlian (Wallahu’alam asli atau palsu) dari saku di balik jubahnya yang kombor. Untuk lebih meyakinkan orang, di sekeliling ruang itu juga tampak tersusun rapi tumpukan aneka uang kertas dalam bungkus transparan. Kanjeng juga mengaduk aduk tumpukan uang yang disebar di lantai, mengilustrasikan banyaknya jumlah uang yang katanya dari hasil penggandaan.
Ribuan orang, tidak saja berasal dari wilayah Probolinggo dan seputar Jawa Timur, tetapi juga dari Sulawesi Selatan dan propinsi lainnya dilaporkan telah termakan tipudaya Kanjeng dengan menyetorkan uang mereka untuk digandakan secara gaib.
Bahkan , dengan diantar oleh anggota DPR, Akbar Faisal, wakil keluarga M. Nur Nazmur Muin, asal Makassar melaporkan ke polisi bahwa almarhum ibunya pernah menyetorkan uang Rp200 milyar secara bertahap pada Kanjeng, namun sebagai imbalannya ia hanya memperoleh sejumlah emas batangan palsu, perhiasan imitasi dan mata uang kertas asing palsu serta potongan kertas yang menurut Kanjeng, pada suatu saat akan berubah menjadi uang.
Selain melakukan penipuan dengan penggandaan uang, Kanjeng juga didakwa menjadi dalang pembunuhan terhadap kedua cantrik padepokannya, Abdul Gani dan Ismail Hidayah karena keduanya dianggap telah menjelek-jelekkan sang pemimpin dan melaporkan praktek penggandaan uang yang dilakukan Kanjeng kepada polisi.
Yang memprihatinkan, pembunuhan terhadap kedua cantrik tersebut diduga melibatkan tiga mantan anggota TNI yang sudah ditangkap, dan seorang oknum anggota TNI aktif yang masih buron.
Praktek penggadaan uang yang ternyata aksi penipuan tidak hanya dilakukan oleh Dimas Kanjeng, tetapi merupakan fenomena sosial yang juga terjadi di berbagai tempat di negeri ini. Sebagian dilaporkan oleh korban, kemudian perkaranya diteruskan ke meja hijau, namun banyak juga yang tidak melaporkan, karena korban malu sudah tertipu, atau ada juga yang tidak melapor karena ditakut-takuti atau diancam oleh pelaku.
“Ironis ya, masih ada saja orang yang percaya terhadap praktek semacam itu. Memang ada orang yang dianggap kharomah atau diberikan kelebihan oleh Allah, misalnya para wali yang telah mendedikasikan hidup mereka bagi syi’ar agama Islam, bukan buat penipu, “ kata Da’i kondang Zaki Mirza.
Sementara Prof. Azyumardi Azra menilai, mungkin saja para korban praktek penggandaan uang adalah orang-orang yang memiliki obsesi untuk memperoleh uang atau harta secara instan, padahal ia tidak mampu melakukannya dengan cara-cara yang wajar atau orang-orang yang bermasalah dalam keluarga. “Saat diiming-imingi untuk memperoleh uang dengan cepat dan mudah, nalarnya tidak jalan sehingga akhirnya tertipu.
Sedangkan Yenny Wahid dari Wahid Institute menilai, kasus Dimas Kanjeng mencerminkan fenomena kompleksitas masalah sosial. Di saat masyarakat mengalami krisis panutan, berbarengan juga mengalami “krisis kantong” (kesulitan ekonomi-red), mereka dengan mudah diperdaya oleh orang yang dianggap mampu mencarikan solusi persoalan mereka.
Sebaliknya, mantan aktivis ICMI dan mantan anggota DPR Marwah Daud yang menjadi “tangan kanan” Dimas Kanjeng (ketua yayasan padepokan) tetap meyakini bahwa tidak ada masalah dengan kegiatan padepokan Kanjeng. Ia berharap agar massa tidak berprasangka buruk terhadap Kanjeng. “Nanti kebenaran akan terungkap. Masyarakat jangan buru-buru menuduh jika tidak ngerti, “ ujarnya dengan bersemangat untuk membela Kanjeng.
Sebagian pengikut Kanjeng yang masih yakin akan kesaktian pemimpinnya, malah menyesalkan penangkapan terhadap dia karena hal itu membuat proses penggandaan uang jadi berantakan. Saat Kanjeng diminta menunjukkan keahliannya di depan polisi dan anggota DPR, Akbar Faisal, ia berkilah, kemampuannya telah sirna karena stress akibat berada di tahanan polisi. “Jin yang membantu saya untuk menggandakan uang juga sudah hengkang, “ tuturnya dengan ekspresi wajah tanpa bersalah.
Di masa mendatang, kepedulian dan sikap tanggap di lingkungan pemukiman, mulai dari RT, RW, lurah dan aparat keamanan diperlukan untuk mencegah terjadinya kegiatan-kegiatan penipuan yang berkedok agama. Masyarakat juga harus terus diberi pencerahan untuk tetap mengedepankan nalar saat mengalami kesulitan sekalipun.
Masyarakat harus disadarkan, untuk meraih atau mendapatkan sesuatu harus melalui kerja keras, sehingga mereka tidak mudah percaya atau terpedaya jika ada orang yang mengiming-imingi untuk mendapatkan uang atau kekayaan seketika dan secara tidak lazim. (Nanang Sunarto)