SEBAGAI satriya lelananging jagad, bini Harjuna lebih dari tiga; mengalahkan Lora Fadil anggota DPR yang ketiduran saat sidang paripurna di Senayan. Demikian banyak bini ksatria Madukara ini, hanya Sumbadra-Srikandi yang disandhing (ikut bersamanya) dalam satu rumah, yang lain di rumah masing-masing. Jika sekedar kangen bisa videocall lewat HP. Bila kangen multidimensi baru didatangi langsung sekalian sporing balansing dan amplas platina. Maklum, Harjuna masih pakai mesin lama!
Punya bini ombyokan, tentu resiko anggaran membengkak luar biasa. Beruntung, dari 100 istri Harjuna, 98 ditanggung oleh mertua masing-masing. Harjuna hanya kebagian tugas “nyetrom” belaka. Itupun tak cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari Sembadra-Srikandi dan Harjuna. Jaman sekarang, gaji Rp 10 juta bisa sampai di mana?
“Gaji sudah 5 tahun nggak naik-naik, padahal harga-harga terus membubung. Pusing gua, masak Harjuna harus ngojek online.” Kata Harjuna saat curhat pada punakawan Petruk Gareng dan Bagong.
“Ndara Harjuna gaji segitu masih mengeluh, bagaimana kami-kami yang hanya Rp 5 juta sebulan? Jika tak disambi jadi agen gas melon mana cukup?” jawab Petruk.
“Kalau mau cukup, jadi agen tunggal gas melon di Amarta, pasti kaya kamu.” Tambah Gareng.
“Oo, nggak berani saya. Mau melawan Betara Kala? Bisa diuntal malang nanti”.
Memang, di jagad perwayangan Betara Kala putra Betara Guru terkenal sebagai penyalur tunggal gas melon. Baik yang 12 Kg maupun yang 3 Kg (bersubsidi). Dulu semua wayang ngercapada masih menggunakan minyak tanah. Tapi kemudian SBG (Sanghyang Betara Guru) atas gagasan putranya yang bernama Betara Kala, bikin kebijakan nasional nan spektakuler. Baik wayang di bumi maupun di kahyangan harus menggunakan gas elpiji. Minyak tanah dihapuskan. Tapi gebleknya, yang jadi agen tunggal gas elpiji justru perusahaan milik Betara Kala sendiri.
Kalangan wayang tak berani protes terbuka. Sebab jika protes malah dimasukkan kategori wayang “sukerta” yang harus menjadi santapan Betara Kala, dimakan mentahan, paling-paling pakai bumbu saus. Sudah banyak wayang kritis diuntal malang oleh Betara Kala gara-gara menolak konversi minyak tanah ke gas elpiji.
“Kami bukanya menolak, tapi jangan bikin kebijakan koruptif, dong! Masak yang bikin aturan bapak, anaknya langsung memanfaatkan.” Protes Betara Kresna.
“Ini enaknya jadi anak pejabat tinggi negara. Maka jangan banyak mulut kamu, ketimbang tak makan mentahan pula nanti,” ancam Betara Kala. Tapi itu hanya gertak sambal, karena makan titisan Betara Wisnu sama saja cari penyakit.
Alkisah, krisis keuangan di Madukara semakin parah. Sembadra-Srikandi pusing mengatur uang belanja. Demi penghematan, di dapur mereka lebih sering masak sayur lodeh, yang tambah hari tambah enak ketika dingat-nget (dipanasi) terus. Balita Abimanyu sudah lama tak diajak belanja ke mal, mainannya juga kembali ke othok-othok dan manuk-manukan dari lempung. Sekarang, pengeluran rupiah demi rupah harus diperhitungan dengan ketat.
Paling kritis sekaligus ironis, duet Sembadra-Srikandi berani mengusir Harjuna dari Madukara, gara-gara tak mau menambah uang belanja. Keduanya mengancam, boleh kembali asalkan siap menambah APBD-P barang Rp 2-3 juta sebulan. Jika tidak, silakan pergi sampai kapanpun. Kalau perlu 3 kali Lebaran semacam Bang Toyib.
“Gaji saya memang kecil, apakah saya harus korupsi, Bune kulup. Mau dikorupsi juga apa, tak ada dana lebih di Amarta.” Kata Harjuna memberi alasan.
“Bodo amatlah, pokoknya boleh pulang kalau bawa uang.” Ancam Srikandi.
Bahkan Sembadra-Srikandi memberikan hukuman tambahan, boleh pulang manakala berhasil memboyong Kembang Jatikesuma yang hanya tumbuh di kahyangan Jonggring Salaka. Jika dua sarat itu tak bisa dipenuhi, talak tiga pun akan jatuh. Artinya Harjuna tak bisa balen (rujuk) lagi dengan Sembadra-Srikandi kecuali sudah dinikahi lelaki lain. Meski hanya sekedar kembang, jika dijaminkan ke bank bisa dapat uang miliaran, melebihi hasil gadai SK anggota DPRD.
Kabar Sembadra-Srikandi ditinggal kabur suami, segera ramai di medsos, bahkan viral. Namanya juga wayang cantik dan cerdas legendaries, bergitu mereka dalam status “janda”, banyak yang berebut untuk mempersuntingnya, terutama cowok yang pernah naksir baik Srikandi maupun Sembadra. Perginya Harjuna dianggap peluang untuk ekspansi mendapatkan kembali sekar kedaton Madukara.
“Paman Durna, masih pengin Srikandi nggak? Ini ada peluang bagus.” Kata Patih Sengkuni mulai ngompori, sebagaimana kebiasaan lama patih Ngastina.
“Ah, trima prei (nggaklah). Aku sudah tua, nggak rosa-rosa macam Mbah Marijan lagi. Dana juga terbatas……” Jawab Pendita Durna angin-anginan.
Beda dengan Burisrawa ksatria Cindekembang, putra Prabu Salya. Jangankan Harjuna sedang kabur-kaburan, sedangkan ketika guyub rukun bagaikan mimi-mintuna dengan Sembadra saja doanya siang malam selalu jelek, ”Bercerailah, ribut melululah, biar aku bisa menggunakan kesempatan dalam kesempitan.” Dan sekarang, saat yang ditunggu-tunggu itu benar-benar telah hadir.
Namun demikian Burisrawa tetap kurang pede juga mendekati Sumbadra. Sebab di samping putri idolanya, ada Srikandi perempuan cantik tapi galaknya macam anjing beranak. Burisrawa khawatir di saat melakukan lobi-lobi politik ke Sembadra malah disiram air oleh Srikandi. Karenanya dia kemudian minta tolong kakak iparnya, Prabu Baladewa yang sekaligus juga kakak kandung Sembadra. Di tangan Baladewa niscaya semua jadi beres.
“Dilobi sendiri kenapa sih. Laki-laki kok takut perempuan. Bagaimana kamu mau jadi kepala rumahtangga kalau jadi suami takut istri.” Sindir Prabu Baladewa.
“Bener kangmas Prabu. Jangankan mau ngomong, baru ketemu Sembadra saja aku sudah gemetar duluan, macam koruptor dipanggil KPK.” Jawab Burisrawa sejujurnya.
Namanya juga adik ipar, mau tak mau Prabu Baladewa harus membantu. Tapi dia sendiri kurang dekat dengan Sembadra. Ada adiknya lagi, Betara Kresna yang jadi raja di Dwarawati. Dia lebih dekat dengan Sembadra. Dengan demikian segala nasihatnya pasti akan diterima. Demi misi cinta Busisrawa, Prabu Baladewa pun terbang ke Dwarawati. Maksudnya, naik pesawat, karena Baladewa memang tidak bisa terbang. (Ki Guna Watoncarita)