Ibu Mariyam, Sang Teman Penderita Kanker

Tubuh masih hendak lekat dengan buah hati, namun kematian telah tiba di pelupuk mata. Vonis kanker serviks yang dilayangkan oleh dokter, seakan membelah segalanya. Ketika itu, Ibu Mariyam (48) merasa terik tidak lagi memberikan hari. Bahkan ia lebih damai bersembunyi di balik pintu rumah sembari meratapi nestapa.

“Saya ini perempuan baik-baik,” tuturnya tersedu-sedu, tak percaya penyakit itu bersemayam dalam leher rahim.

Selama tiga puluh satu hari, ia mengalami datang bulan, merupakan awal hukuman mati dari ahli medis. Ia pun tak kuasa menyampaikan pilu yang tengah bertandang tersebut pada sang suami dan anak-anak. Ia hanya sendiri dan berteman air mata serta berpayah-payah menerima luka.

Menjelang akhir tahun 2012, tepat dua bulan berlalu, harapan hidup Ibu Mariyam semakin terkikis tangis. Kendati mata masih terbuka seperti sediakala, namun penglihatan terbatasi derita, begitu pula napas tak lebih dari menghirup sesak.

Hingga pada puncak putus asa, datang bulan yang tidak normal itu pun kembali menimpa. Sungguh ia tiada berdaya. Perlahan-lahan dalam setiap doa, ia mulai menerima dan berserah diri pada Sang Pencipta atas ketetapan-Nya. Diam-diam ia menelan lara sembari melepas peluk untuk tiga orang buah hatinya.

“Saya ikhlas menerima kehendak-Nya. Dan berharap, semoga Allah senantiasa merawat anak-anak yang saya tinggalkan.”

Entah mengapa dalam hati tebersit untuk memeriksa kembali kelainan haid tersebut. Ibu Mariyam pun menjalani berbagai tes oleh dokter yang berbeda dari sebelumnya. Alhasil, tidak ditemukan kanker serviks, sebuah penyakit yang telah mengubur kehidupannya.

Perasaan syukur dan campur aduk menyelimuti, seolah-olah cahaya mentari menyelinap dari celah-celah jendela rumah lalu membangunkan tidur panjangnya dan menawarkan hari. Ia menganggap bahwa Allah telah memberikan kesempatan hidup untuk kedua kalinya.

“Pada kesempatan hidup yang kedua ini, saya ingin menjadi orang yang bermanfaat.”

Akhrinya, Ibu Mariyam berani membuka pintu rumah untuk menyambut pagi. Langkah kakinya menelusuri lorong-lorong kemanusiaan. Ia turut serta dalam berbagai aksi sosial, menghadirkan suasana lingkungan sekitar yang humanis dan harmonis.

Pengabdian tersebut mengantarkan ia pada perjumpaan bersama Yayasan Kanker Indonesia (YKI) dalam sebuah kegiatan edukasi kesehatan.

Ibu Mariyam merasa pertemuan bersama YKI adalah jalan untuk dapat merangkul para penderita kanker. Ia menyimpan dalam-dalam bagaimana perasaannya saat mengalami hal tersebut. Ia mengerti betul, bahwa mereka butuh teman untuk meluruhkan sedih dalam pelukan.

Tanpa pikir panjang, ia mendaftarkan diri sebagai kader paliatif kanker YKI. Kerap kali, ia harus rela membungkam waktu untuk sendiri, lalu bersemangat menghadiri pelatihan pendamping penderita kanker.

“Saya tidak memiliki dasar pendidikan kesehetan, sehingga harus rutin ke tempat pelatihan untuk belajar menangani penderita selama pendampingan,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa kegiatan itu memakan waktu, tak jarang pergi dini hari dan sampai rumah bersama malam.

Selepas masa pembekalan, Ibu Mariyam mengetuk pintu para penderita kanker, membiarkan terik menerangi sudut-sudut ruangan. Ia membawa semangat dan harapan kepada mereka untuk tetap bertahan dan berjuang.

Tentu, di balik wajah tersenyum Ibu Mariyam saat menemani penderita kanker, tersimpan kesedihan yang mendalam, sebagaimana ketika ia merasakan sebuah vonis yang membelah segala kebahagiaan. Dalam keheningan, air matanya berlinang dan berharap yang terbaik untuk mereka.

Terhitung sudah empat tahun, sejak 2015, Ia melakoni peran kebaikan itu. “Saya ingin menemani mereka sampai nanti, sampai napas saya berhenti,” kata Ibu Mariyam. Ia menjelaskan bahwa terasa ada yang kurang dalam kehidupannya ketika tidak datang untuk merawat. “Saya bahagia, bisa menjadi teman mereka,” imbuhnya.

Ikuti cerita #AksiHidupBaik lainnya di akun Youtube dan Instagram @ibu.ibukota.