Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 guna menanggapi masalah para pengungsi dan pencari suaka yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya. Hal ini dikatakan anggota DPR-RI Komisi III (Hukum, HAM, dan Keamanan), Habib Aboebakar Alhabsyi, dalam keterangan persnya pada acara Focus Discussion Group dengan tema The Stateless Refugee di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Kamis (03/06/2015).
Aboebakar mengatakan, Indonesia merupakan destinasi antara (transit) bagi pengungsi dan pencari suaka internasional. Berdasarkan data UNHCR, hingga bulan Juni 2009 terdapat 1.928 orang pengungsi dan pencari suaka yang masuk ke Indonesia. Sebanyak 441 orang di antaranya adalah pengungsi dan 1.487 orang lainnya adalah pencari suaka.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu melanjutkan, jumlah mereka terus bertambah dari tahun ke tahun. Bahkan pada medio bulan Januari-Juli 2010, imigran yang masuk ke Indonesia berjumlah 3.434 orang dengan rincian 843 orang di antaranya pengungsi dan 2.591 lainnya pencari suaka.
Dia menjelaskan, sebagian besar imigran berasal dari Afganistan, termasuk juga etnis Rohingya yang sejak tahun 1982 tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar, terusir dari tanah kelahirannya di Arakan, dan menyebar ke berbagai belahan dunia mencari tempat singgah.
“Ribuan di antara mereka berada di Indonesia, sehingga memerlukan perhatian yang serius baik dari pemerintah maupun kelompok masyarakat Indonesia,” kata Aboebakar.
Namun persoalan muncul ketika pemerintah tidak tanggap dalam menangani para pengungsi ataupun pencari suaka itu karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Sehingga pemerintah tidak bisa langsung menetapkan status para imigran sebagai pencari suaka atau pengungsi.
Aboebakar menjelaskan, saat ini penentuan status dilakukan UNHCR yang memakan waktu cukup lama. Di samping itu, pemerintah juga belum memiliki kebijakan nasional yang komprehensif dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka.
Dia melanjutkan, kondisi ini diperparah dengan belum adanya instrumen nasional yang mengatur perihal serupa. Akibatnya ketika ada sekelompok orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia maka akan dikategorikan sebagai imigran gelap yang melakukan pelanggaran imigrasi.
“Terlihat sekali kebijakan dan pola penanganan pengungsi di Indonesia masih bersifat sektoral, sporadik, dan minim perspektif hak asasi manusia,” kata Aboebakar.
“Koordinasi antara Polri, TNI, Kemenlu, Dirjen Imigrasi, dan UNHCR tidak jelas. Di sisi lain penempatan mereka di Rumah Detensi Imigrasi melahirkan persoalan terbaru terkait HAM,” lanjutnya. sporadik, dan minim perspektif hak asasi manusia,” kata Aboebakar.
Koordinasi antara Polri, TNI, Kemenlu, Dirjen Imigrasi, dan UNHCR, lanjut Aboebakar juga tidak jelas. Di sisi lain penempatan mereka di Rumah Detensi Imigrasi melahirkan persoalan terbaru terkait HAM karena kondisinya yang tak ubahnya seperti penjara. “Padahal mereka korban pelanggaran HAM di negara asalnya dan bukanlah pelaku kriminal,” ujarnya.
Padahal, jika menanggapi masalah pengungsi dan pencari suaka secara serius akan menguntungkan Indonesia. Aboebakar menjelaskan setidaknya ada dua keuntungan yang akan didapatkan negara yaitu yang pertama pemerintah dapat menentukan sendiri status para pengungsi dan pencari suaka. Sehingga pemerintah dapat terlibat langsung dan berkontribusi dalam penanganan masalah ini sesuai kepentingan nasional.
Selain itu pemerintah juga dapat memastikan sendiri bahwa para pencari suaka tidak dijadikan selubung bagi pelarian orang yang terlibat tindak pidana dan kejahatan menurut hukum internasional.
Keuntungan yang kedua adalah pemerintah akan mendapatkan bantuan dan kerja sama internasional terkait penguatan kapasitas nasional dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka. Sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan dengan komprehensif.
“Beban penanganan pengungsi dan pencari suaka juga tidak ditanggung pemerintah sepenuhnya tetapi juga ditopang solidaritas dan kerja sama komunitas internasional,” tegas Aboebakar. (Daulat)