Perang Antara Israel dengan kelompok pejuang militan Palestina, Hamas belum juga berakhir. Setelah sekitar 4 Bulan Israel menggempur Palestina di jalus Gaza yang kini merambat ke wilayah Rafah, membuat keuangan Israel “kedodoran”. Pasalnya biaya yang dihabiskan Israel untuk operasional perang, masih akan membengkak dan belum diketahui kapan perang akan usai.
Israel akan menempuh sejumlah langkah untuk meningkatkan belanja pertahanannya untuk menggempur Gaza. Israel berencana menambah utang US$ 60 miliar atau sekitar Rp 936 triliun (kurs Rp 15.600) tahun ini, menunda perekrutan pegawai pemerintah, dan menaikkan pajak. Dikutip dari Financial Times, Selasa (27/2), pemerintah Israel berencana meningkatkan belanja pertahanan tahun ini 55 miliar shekel (US$ 15 miliar). Angka tersebut naik 85% dari anggaran sebelum perang.
Kementerian Keuangan Israel menyatakan, hal tersebut akan mendorong belanja pertahanan menjadi 20% dari anggaran 2024, naik dari 13,5% sebelum perang. Rancangan anggaran 2024 sedang ditinjau oleh komite di parlemen dan diharapkan disahkan bulan depan.
Komite yang terdiri dari para ahli dari luar pemerintah telah dibentuk untuk memberi nasihat mengenai belanja pertahanan di masa depan. Sementara itu, pendapatan negara pada 2023 mencapai 12 miliar shekel di bawah perkiraan. Di sisi lain, pemerintah meningkatkan pengeluaran 26 miliar shekel karena perang. Hal ini menyebabkan defisit keuangan yang cukup melebar. Untuk menutupi defisit tersebut, Israel membutuhkan dana segar agar operasional pemerintahan tetap bisa berjalan. Jalan Pintas yang diambil Israel adalah berhutang.
Dana tersebut termasuk tambahan US$ 4,7 miliar untuk pertahanan ketika Kementerian Keuangan mengeluarkan izin khusus yang memungkinkan pemerintah beroperasi di luar anggaran segera setelah serangan Hamas pada 7 Oktober.
Dalam upaya untuk menyeimbangkan pembukuan, kementerian berencana menaikkan pajak pertambahan nilai dari 17% menjadi 18% pada 2025. Sementara tahun ini dan tahun depan kementerian akan menaikkan pajak seperti pajak rokok dan perbankan, membekukan perekrutan pegawai pemerintah, dan menunda kenaikan upah di sektor publik.