Kalau Nasib Kami seperti Mereka, Bagaimana?

0
151

LANGSA – Nelayan-nelayan itu sedang mengecat kapal kayunya di pinggir Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh, saat kami menghampiri dan menyapa mereka. Sebagian badan kapal berkapasitas 50 ton itu nampak berkilap. Kapal ikan sumber penghidupan mereka itu nampak baru kembali.
 
Seorang nelayan berusia parobaya sambil terus sibuk bekerja menanyakan identitas kami. Setelah berbasa-basi, Mohamad Adenan meminta kami naik ke atas kapal. Dengan hanya balok kayu, kami meniti ke atas kapal. Adenan yang dituakan oleh nelayan-nelayan lainnya itu berhenti bekerja dan menemui kami.  Adenan juga menawarkan makan siangnya. Namun dengan sopan kami mengatakan kami sudah makan siang. Kami terkesan dengan keramahannya, yang menjadi salah satu karakter positif orang Aceh.
 
Sebagaimana diberitakan, pada Jumat pagi (15/5/2015), ada enam kapal nelayan Aceh yang menolong para manusia perahu asal Myanmar dan Bangladesh. Kapal Adenan adalah kapal yang mengangkut sisa pengungsi, berjumlah 45 orang.
 
“ Kami baru melaut satu hari, saat menemukan orang-orang asing itu,” ungkap Adenan. Biasanya kapal berada di laut 5 sampai 6 hari. Kapten kapal yang memimpin Muhammad Adenan dengan 40 ABK lainnya, memutuskan untuk mengevakuasi para manusia perahu asal Myanmar dan Bangladesh itu. Keputusan dilakukan usai saling kontak antarnelayan via radio, dan diminta saling merapat.
 
“ Kami ikut mendekat ke lokasi dimana orang-orang itu berada,” tutur ayah dari enam anak ini.
 
Adenan mengatakan kapalnya adalah kapal terakhir yang mengangkut pengungsi. “ Lima kapal yang lain sudah di depan kami,” tambahnya.
 
Saat kapal nelayan dan pengungsi saling menekat, beberapa pengungsi langsung terjun ke laut untuk mendekat ke kapal Mohamad Adenan. Menurut penglihatan Adenan, ada juga perempuan yang nekat terjun berenang mendekati kapalnya. Jarak dua kapal sekira 30-40 meter. Para pengungsi itu berteriak-teriak, “ Allahu kbar, Allahu akbar!”
 
Didorong rasa iba, kapten kapal memerintahkan Mohamad Adenan dan kawan-kawannya segera lebih mendekat, untuk mencegah mereka terjun ke laut. 
 
“ Saat kami menolong mereka, tak ada di hati kecuali rasa iba. Saya membayangkan saat itu, seandainya mereka itu adalah kami, tentu kami saat itu akan sangat berharap pertolongan dari siapapun,” kata Adenan, yang selama 5-6 melaut bisa mendapat upah 150-200 dari bos pemilik kapal.
 
“ Apa salah mereka? Dan mengapa mereka seolah-olah tak boleh kita tolong?” jawab Adenan ketika ditanya keputusan mereka untuk melakukan tindakan penyelamatan.
 
Usai kapal saling merapat, para pengungsi itu berpindah kapal. Mereka langsung duduk di dek kapal, dan sebagian, mungkin karena kelelahan, langsung berbaring. Sebagian laki-laki terlihat luka-luka yang masih setengah kering. Ada luka di lengan, punggung, kaki dan kepala.
 
Adenan mengatakan karena masalah bahasa, ABK kapal tak banyak bicara dengan pengungsi.
 
“ Yang kami lakukan segera mengeluarkan makanan dan air bekal kami mencari ikan untuk sepekan, yang masih banyak, karena kami baru berada di atas laut sehari semalam,” urai Adenan.
 
Adenan mengaku makin trenyuh melihat para pengungsi itu makan dengan lahap. Mereka nampak sama sekali tak mampu menyembunyikan rasa lapar dan haus mereka.
 
“ Bahkan saat kami baru mau selesai menaruh makanan ke piring, mereka langsung menyambarnya,” ungkap Adenan.
 
Bagaimana perasaan Adenan bisa membantu orang yang sedang sangat butuh pertolongan?
 
“ Hati saya lega, bisa menolong orang kesusahan. Mereka berada di laut sama seperti kami. Mereka manusia sama seperti kami,” kata Adenan.
 
Adenan dan kawan-kawannya menyatakan tak menyesal, usai mendaratkan para pengungsi itu, kapalnya sempat tertunda untuk melaut kembali oleh aparat. Kesempatan itu digunakan untuk mengecat kapal milik bosnya.
 
“ Mungkin karena kami masih dibutuhkan katerangannya kali,” ujar Adenan. – ACTNews

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here