DI era gombalisasi ini orang berkomunikasi semakin canggih. Media informasi bukan lagi hanya televisi, radio dan koran. Medsos yang namanya FB, twitter, instagram, WA dan masih banyak lagi, kini mewabah, merasuk dan merusak jiwa kawula muda dan tua. Disebut “merusak” sebab ika tidak bijak menyikapi, gara-gara terbawa emosi bisa jadi korban persekusi. Jika jadi urusan polisi, bisa dieksekusi atau ujung-ujungnya minta grasi.
Tahun 2014, seorang mahasiswi program kenotariatan di UGM, hanya kecewa soal antrian bensin di SPBU, ngomel-ngomel di medsos dan menjelek-jelekkkan kota Yogyakarta. Akibatnya orang Yogya tersinggung, sehingga mahasiswi “lambe turah” itu jadi urusan polisi dan kena vonis 2 bulan penjara di PN Yogyakarta karena kena pasal pelanggaran UU ITE.
Paling gress, dalam heboh Pilkada DKI, seorang Ahokers dari Pasaman (Sumbar) yang berprofesi dokter, dipersekusi pendukung Habib Rijiek, karena junjungannya diledek di medsos. Bu dokter harus terusir dari kampung halamannya, sementara di Jakarta ada ABG di Cipinang Muara Jakarta juga ditonyo-tonyo pendukung Habib Rijiek. Kasusnya tak jauh beda, ABG itu dianggap melecehkan junjungannya melalui medsos.
Para praktisi medsos itu rata-rata berusia di bawah 35 tahun, jadi masih masuk kawula muda. Anak muda terbawa emosi gara-gara kecanduan medsos, masih wajar. Tapi jika sudah bangkotan masih baper (bawa perasaan) dalam bermain medsos, itu menandakan bahwa dia belum dewasa, belum menep jiwa, apa lagi raganya.
Adalah MH warga dari Bekasi. Jika dilihat dari penampilannya, dipastikan usianya sudah oversek (overseket) alias 50 tahun ke atas. Ironisnya, dalam usia segitu masih suka ber-“petualang” di medsos. Ketika emosinya larut dalam berselancar di medsos, MH ini jadi sibuk sendiri, suka melaporkan orang ke polisi. Padahal gara-gara ulahnya, dia juga pernah jadi tersangka pelanggaran UU ITE.
Kata polisi di Polda Metro Jaya, tak kurang dari 60 kali MH melaporkan orang perorang, gara-gara dia tak suka dengan opini orang-orang tersebut di medsos. Tapi lantaran laporannya kebanyakan tak bermutu, artinya tak ada unsur pidanannya, akhirnya dihentikan. Ini kan sama saja MH “ngerjai” polisi, padahal masih banyak pekerjaan polisi lainnya yang lebih penting. Ketimbang ngurusi MH, kan lebih bagus dengarkan pengajian Emha Ainun Nadjib di Youtube.
Terakhir, MH baperan ketika Kaesang putra Presiden Jokowi begitu royal mengobral kata “ndeso” di medsos. Anak minta proyek pada bapaknya yang pejabat: ndeso. Masih bocah diajari bunuh orang: ndeso, dan masih banyak lagi “ndeso-ndeso” yang lain, sehingga pemilik akun itu dilaporkan MH ke Polres Bekasi. Tapi pada akhirnya, pengaduan MH itu tak ditanggapi karena tak ada unsur pidananya.
Publik dan netizen di jagad maya banyak yang heran akan ulah MH ini. Soal begitu saja ditanggapi. Sejak dulu, ungkapan “ndeso” kan sudah menjadi makanan sehari-hari di kawasan Jateng dan DIY. Itu sekedar guyonan seseorang, bukan bermaksud meremehkan orang desa. Orang yang disebut “ndeso” atau “ndesit” kata orang Yogya-Solo, takkan tersinggung gara-gara ledekan itu.
Dalam program TV-nya, Tukul Arwana juga sering sekali ngomong “ndeso”, dari dulu aman-aman saja, tak ada yang memasalahkan. Kok sekarang tiba-tiba MH sewot. Kenapa Tukul tidak dilaporkan sekalian? Karena dialah sebetulnya yang paling royal menyebutkan kata “ndeso” itu tadi. Bila berani melaporkan Tukul, paling-paling si Tukul akan berkomentar: tak sobek-sobek lambemu! (Cantrik Metaram)