Kekerasan Anak, Makin Brutal

Aksi penganiayaan dengan pelaku remaja dan anak di bawah umur makin marak, namun belum tampak upaya yang serius untuk mencegah dan menanganinya.

MARAKNYA aksi-aksi kekerasan di ruang publik yang pelakunya siswa sekolah berusia ABG, bahkan di bawah umur, selain meresahkan masyarakat, jika dibiarkan, menciptakan wajah buruk negeri ini.

Sudah tidak terbilang, terjadinya tawuran, klitih (di DIY Yogyakarta) atau aksi bentuk kekerasan lain tanpa sebab di ruang publik di berbagai kota termasuk ibukota yang menelan korban jiwa, sementara belum tampak aksi terkoordinasi untuk mencegah dan menanggulanginya.

Petugas keamanan, seringnya cuma menahan anak-anak tersebut untuk dibina setelah tertangkap melakukan aksi tawuran atau konvoi gang motor, baik yang saling serang atau melakukan penganiayaan secara acak pada pelalu-lalang.

Hasilnya, alih-alih merasa jera, mereka kembali berulah, tercermin dari maraknya aksi-aksi yang bahkan semakin brutal dan sadis tanpa pilih-pilih korban, siapa saja yang mereka temukan pada kesempatan pertama.

Dalam kejadian teranyar, AS (14), siswa Kelas X SMK Bina Warga, Bogor, tewas disabet pedang oleh tiga rekan sekolahnya yakni MA(17) dan SA (18) yang sudah diciduk polisi dan AS (17) yang masih buron saat korban berada di Simpang Pomad, Bogor Utara (10/3).

Sebelumnya, siswa Kelas V SD di wilayah Kec. Gandusari, Blitar, Jatim yang tidak disebutkan namanya juga sobek tangannya akibat sabetan parang setelah saling olok-olok saat bermain bola. Pelaku dan korban berusia sebaya.

Sementara R, siswa Kelas VI SD di Sukabumi, Jabar tewas disabet pedang oleh geng motor beranggotaan 14 orang dimana tiga diantaranya ditahan karena terbukti sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH).

Selain berawal dari keluarga, maraknya aksi-aksi kekerasan yang pelakunya ABG, bahkan anak di bawah usia terjadi akibat lemahnya pola pengasuhan, pengawasan, tindakan pencegahan dan penegakan hukum.

Berawal dari kondisi keluarga. Ada yang ortunya sibuk, berpendidikan rendah atau terbelit kesulitan (ekonomi, dll), tidak ada ruang penyaluran kegiatan untuk menunjukkan eksistensi mereka, lemahnya pengawasan, mulai dari lingkungan (RT, RW, kelurahan) dan sekolah (guru-guru) agaknya berkontribusi memicu maraknya aksi-aksi brutal anak.

Di sisi lain, lemahnya pencegahan dan penindakan oleh aparat penegak hukum, mulai dari Babinsa dan Babinkamtibmas yang ada di kelurahan, pos polisi, polsek, polres agaknya juga tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab mereka. Kemana saja mereka selama ini?

Penegakan hukum jika dikenakan, juga tidak membuat jera, karena kondisi di rutan-rutan anak-anak juga malah sering membuat mantan napi anak  menjadi residivist.

Sepanjang tidak ada upaya serius, mulai dari literasi bagi para ortu   tentang pendidikan anak, mata pelajaran hukum di kelas-kelas, pencegahan dan tindakan tegas yang membuat pelaku jera, aksi-aksi kekerasan dengan pelaku anak bakal terus bermunculan.