PRAKTEK korupsi di Indonesia seakan-akan tidak ada matinya bahkan makin menjadi-jadi, setiap ada kesempatan disikat, termasuk kegiatan peribadatan atau keagamaan yang seharusnya suci dan sakral.
KPK mengungkapkan, nilai kerugian keuangan negara akibat dugaan korupsi penentuan kuota haji 2024 mencapai lebih dari Rp 1 triliun.
“Dalam perkara ini (kuota haji), hitungan awal dugaan kerugian negaranya lebih dari Rp 1 triliun,” kata Jubir KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (11/8).
Budi belum bisa memastikan penetapan tersangka terkait perkara penentuan kuota haji tersebut karena masih dibutuhkan pemeriksaan terehadap pihak-pihak terkait dengan konstruksi perkara.
“Nanti kami akan update, karena tentu dalam proses penyidikan ini KPK perlu memeriksa juga pihak-pihak yang mengetahui perkara ini,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK menyatakan kasus dugaan korupsi terkait kuota haji era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas naik ke tahap penyidikan.
“Terkait dengan perkara haji, KPK telah menaikkan status penyelidikan terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023 sampai dengan 2024 ke tahap penyidikan,” kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, Asep Guntur Rahayu, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (9/8) dini hari.
Menemukan peristwa rasuah
KPK menaikkan level pengusutan kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan karena KPK telah menemukan peristiwa yang diduga sebagai rasuah.
“KPK telah menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana korupsi terkait dengan penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024, sehingga disimpulkan untuk dilakukan penyidikan,” kata Asep.
KPKpun menerbitkan Surat Perintah Penyidikan atau Sprindik umum untuk kasus kuota haji tersebut. Dalam kasus ini, KPK menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
KPK sedang menyidik kasus dugaan korupsi kuota haji 2023-2024 karena diduga ada penyimpangan pembagian kuota haji reguler dan kuota haji khusus.
Haji reguler dan kuota khusus
Penyelenggara haji reguler terdaftar dan diselenggarakan oleh Kemenag (terakhir pada penyelenggaraan tahun 2025, dikelola langsung oleh pemerintah).
Jemaah Haji Reguler adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh Menteri,” demikian bunyi Pasal poin 5 di UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Sementara berbeda dengan haji reguler, haji khusus diselenggarakan swasta yang terdaftar di Kemenag. Haji khusus juga disebut sebagai haji plus.
Penyelenggaraannya dilakukan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang terdaftar di Kemenag, sementara waktu tunggu haji reguler berkisar antara 11 hingga 47 tahun, tergantung daerah domisili calon jemaah.
Semakin banyak calon haji di suatu daerah, semakin lama pula waktu tunggu keberangkatannya, sebalikmya,m, 12 September 2023, waktu tunggu haji khusus lebih cepat dibandingkan haji reguler (sekitar lima sampai tujuh tahun)
Untuk biaya haji reguler tahun 2025, pemerintah telah menetapkan rata-rata BPIH sebesar Rp89.410.258,79, dengan asumsi kurs 1 USD = Rp16.000 dan 1 SAR = Rp4.266,67.
Dari total tersebut, calon jemaah hanya perlu membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) sebesar rata-rata Rp55.431.750,78, turun dibandingkan tahun 2024 sebesar Rp56.046.171,60.
Selisih biaya tersebut ditutupi dari nilai manfaat hasil pengelolaan dana haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).Haji reguler mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Adapun untuk haji khusus, setiap biro travel menerapkan harga yang berbeda, tergantung paket yang diberikan.
Biaya Haji Plus 2025 masih di kisaran paling sedikit 8.000 Dolar AS atau bila dirupiahkan dengan kurs saat ini Rp16.850, setara dengan Rp134,76 juta.
Bertentangan dengan ketentuan
Akar masalahnya pembagian kuota haji tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji dibagi untuk kelompok reguler dan khusus.
Pembagiannya untuk haji reguler 92 persen dan haji khusus 8 persen. Masalah kemudian muncul ketika Indonesia mendapatkan tambahan kuota haji sebanyak 20 ribu kursi oleh pemerintah Saudi.
Setelah kuota tambahan diterima oleh Kemenag, pembagian untuk reguler dan khusus tidak dibahas di DPR.
Kemenag di bawah komando Yaqut saat itu menetapkan pembagian kuota tambahan itu 10 ribu untuk haji khusus dan 10 ribu haji reguler. Seharusnya jika merujuk UU 8/2019 aturannya haji reguler dapat 18.400 kursi dan haji khusus hanya 1.600 kursi.
“KPK telah menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana korupsi terkait dengan penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kemenag 2023-2024 sehingga disimpulkan untuk dilakukan penyidikan,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di kantornya Sabtu (9/8) dini hari
Mengawali proses penyidikan
Asep menegaskan, naiknya status perkara ini menandai dimulainya proses penyidikan umum oleh tim penyidik KPK yang diharapkan dapat mengungkap secara jelas pihak-pihak yang diduga terlibat, serta modus yang digunakan dalam dugaan penyimpangan kuota haji.
“Kasus SDA dulu 33 kursi kuota haji reguler, sudah selesai perkaranya. Sementara ini ribuan,” jelasnya mengacu kasus serupa yang melibatlan Menag saat itu, alm. Suryadarma Ali.
Ade mengatakan di dalam UU Haji dan Umrah pengaturan pembagian kuota haji untuk jemaah reguler dan khusus berlaku umum. Tidak ada ketentuan apakah aturan tersebut hanya berlaku untuk kuota tetap, atau juga kuota tambahan.
“Intinya kuota dari Saudi yang diterima pemerintah Indonesia, pembagiannya sesuai dengan undang-undang,” tandasnya.
Berbeda cerita ketika tambahan kuota itu diberikan langsung oleh pemerintah Saudi kepada travel di Indonesia. Maka tidak perlu merujuk ke undang-undang untuk pembagian kuotanya.
Menurut Ade, persoalan kuota haji 2024 sejatinya tidak akan berlarut jika Yaqut hadir dalam sidang Pansus Haji di DPR.
Yaqut sebenarnya bisa menyampaikan klarifikasi langsung di forum tersebut, namun sampai pansus usai, dengan ragam alasan ia mangkir sehingga Pansus Haji DPR meneruskan kasus ini ke meja hijau.
Hukuman berat harus dijatuhkan bagi para koruptor terutama terkait kegiatan ibadah dan keagamaan, sebelum hukum Allah dikenakan di akhirat nanti.





