ENTAH sampai kapan, segenap pemangku kepentingan di negeri ini lebih serius lagi untuk duduk bersama mencegah ribuan nyawa meregang sia-sia atau cacat seumur-umur akibat kecelakaan di berbagai ruas jalan raya di negeri ini.
Kecelakaan bus PO HS Transport di tanjakan Selarong, kawasan Puncak, Bogor yang merenggut empat nyawa Sabtu lalu (24/4) hanya satu dari kejadian berulang-ulang yang tidak pernah menjadi pembelajaran untuk dicari penyebabnya agar kecelakaan sama tidak terulang lagi.
Empat korban tewas, termasuk sepasang kekasih berboncengan motor yang dalam waktu dekat menuju jenjang pernikahan dalam tabrakan karambol antara satu bus, lima mobil dan enam sepeda motor itu.
Besarnya korban nyawa akibat kecelakaan lalulintas di Indonesia dilaporkan oleh Global Report on Road Savety. Pada 2016 tercatat 38.279 tewas, atau menempati “juara ketiga” di Asia setelah Tiongkok dan India.
Musibah itu juga menunjukkan lalainya instansi pemangku, baik di hulu maupun hilir yang pejabatnya seperti biasa hanya sekedar menyampaikan pernyataan basa-basi atau sekadarnya untuk melakukan perbaikan setiap muncul di media pasca musibah atau kecelakaan.
“Kami akan melakukan koordinasi dan mengawasi agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi, “ demikian antara lain kalimat standar yang disampaikan tanpa tindak lanjutnya, sehingga kecelakaan serupa bahkan mungkin lebih mengerikan lagi, esok atau lusa bakalan terjadi lagi.
Kecelakaan di kawasan Puncak tersebut menunjukan akumulasi penyimpangan, mulai dari perizinan, dan pengawasan di tingkat instansi, sampai operator transportasi dan pengendara yang menjadi ujung tombaknya.
Kendaraan ternyata tidak memiliki surat KIR yang biasanya diterbitkan enam bulan sekali oleh Dinas Lalulintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJ) di daerah. Sudah menjadi rahasia umum, surat KIR juga sering hanya dijadikan lapak ‘bancakan’ oknum-oknum DLAJ . Dengan membayar lebih dari biaya resmi, semua bakalan beres, tidak ada pengecekan fisik, ada pun asal-asalan atau ala kadarnya.
Ternyata pemilik bus tidak mengantongi izin sebagai penyedia layanan transportasi , bahkan pengemudi , PH (51) yang sudah ditersangkakan untuk diminta pertanggunganjawab kabarnya juga tidak memiliki SIM.
Perusahaan Otobus HS Transport tidak terdaftar, KIR tidak dilakukan semestinya, pengemudi tidak memiliki SIM, kendaraan pun tidak laik operasi, koq tetap bisa jalan ya? Nanti baru diributkan setiap kali ada musibah.
Belum steril pungli
Layanan pengurusan SIM walaupun terus diperbaiki, masih saja belum steril seluruhnya dari praktek penyimpangan dan pungli. Ikut tes berkendara (test drive) tidak diluluskan karena tidak disertai uang sogokan, atau ikut tes formalitas, yang penting membayar, masih terjadi dan menjadi salah satu penyebab carut marut perilaku pengendara di jalan raya.
“Dilarang memberikan uang pada petugas,” demikian kalimat yang biasa dipampangkan di layanan Samsat kepolisian di banyak tempat yang sayangnya masih sering hanya menjadi pajangan, sementara pungli tetap berjalan.
Menurut pengakuan PH di hadapan polisi, ia diminta pemilik bus untuk memperbaiki bus sekadarnya karena ada grup yang akan menyewanya berwisata ke kawasan Puncak.
Berdasarkan pemeriksaan fisik oleh polisi pasca kejadian, bus buatan 1977 itu memang tidaka laik jalan, apalagi mengangkut penumpang. Kanvas rem sudah tipis, sehingga di TKP pun, indikasi rem blong terbukti karena tidak terlihat tapak ban di permukaan aspal akibat pengereman mendadak.
Rem tangan tidak berfungsi, sementara kuncian tujuh dari delapan baut yang menopang kedudukan mesin tampak longgar. Bus juga sempat mogok, namun mesinnya berhasil hidup kembali setelah diutak-atik PH yang saat ini menjadi tersangka.
Empat korban tewas dalam kecelakaan maut di Jalan Raya Puncak, Kampung Cibogo Leles, Megamendung, Bogor itu hanyalah sebagian kecil dari ribuan nyawa korban yang melayang di berbagai ruas jalan raya di Indonesia setiap tahun.
Dalam jangka pendek, menjelang arus mudik dan balik jutaan warga menjelang dan pasca lebaran nanti, antisipasi dan tindakan mitigasi mengurangi risiko musibah perlu dilakukan.
Dalam jangka panjang, instansi pemangku wewenang, mulai dari kementerian perhubungan dan pekerjaan umum, kepolisian, Organda harus duduk bersama dan lebih serius meningkatkan prasarana dan sarana transportasi, terutama dari sisi keamanannya.
Jika tidak, jalan raya akan menjadi salah satu ladang pembantaian, terutama terhadap warga berusia produktif yang sebagian besar menjadi mangsanya.