Memilih Pemimpin Profetik Tanpa "Fulitik"

0
376

Semua orang setuju, Indonesia perlu pemimpin yang baik. Termaktub banyak sifat dan makna dalam kata baik itu. Salah satunya, adil. Karena itulah, sejak dulu banyak orang rindu hadirnya seorang Ratu Adil. Ratu di sini maksudnya raja atau pemimpin. Ajaran agama dan kearifan lokal Nusantara mempunyai banyak pedoman tentang syarat-syarat dan pedoman memilih pemimpin yang  baik.

Pemimpin yang baik adalah orang yang dapat mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama sedapat mungkin secara sukarela. Pemimpin seperti itu mesti orang yang cerdas, tangkas, suka bekerja keras, tegas, berwibawa, dan berjiwa ikhlas, mencintai sesama dan mengabdikan semuanya sebagai ibadah kepada Allah SWT.
 
Itu semua termaktub dalam kitab Tajus Salatin atau Makhota Segala Raja, yang ditulis di kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1603, kitab Tunjuk Ajar Melayu dan “Serat Wedha Tama dan Wulang Reh” (dalam bahasa Jawa) serta berbagai ajaran tentang kearifan lokal dalam dongeng dan folklore yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah lainnya. 

Sebagai contoh, Tajus Salatin mengatakan pilihlah raja (pemimpin) yang sudah dewasa,  berpengetahuan luas, mampu memilih cendekiawan atau profesional sebagai para menteri dan pembantunya agar dapat bekerja sesuai bidangnya, bersifat tegas, berani menindak anak buah yang terbukti bersalah. Pemimpin juga disyaratkan harus bisa membagi waktu untuk menjalankan kewajiban beribadah kepada Allah SWT, untuk pemerintahan, untuk makan dan minum dan beristirahat serta untuk bercengkerama dengan keluarganya. Juga diingatkan raja agar jangan gemar main perempuan (hubungan seks).

Tunjuk Ajar Melayu karya budayawan Riau, Tenas Effendy, menyeru jangan memilih pemimipin karena duitnya, tapi pilihlah karena adilnya, kederwanannnya dan budi pekertinya dan bukan hanya karena ketampanan fisiknya, melindungi yang lemah dan tidak sombong.

Ajaran Jawa menganjurkan hal yang sama. Misalnya, keutamaan seorang raja atau pemimpin dapat dilihat dari sifatnya yang suka berderma (anggeganjar saben dino) dan menepati janji,  apa yang telah diucapkan tidak boleh dicabut lagi (berbudi bowo leksono) atau “sabda pandita ratu” alias tidak “mencla-mencle”. Pemimpin juga harus mampu mengendalikan hawa nafsu, selalu mengingat Allah SWT dan mentang-mentang menang atau sedang  berkuasa  (menang tanpa ngasorake).

Itu semua bersifat Islami dan termaktub dalam ajaran Islam. Orang Islam sejak dulu merindukan pemimpin yang meneladani empat akhlak dan perilaku mulia Rasulullah Muhammad SAW yang dirangkum dalam singkatan STAF, yakni Shidiq (menegakkan kebenaran),  Tabligh (mendidik),  Amanah (dapat dipercaya) dan Fathanah (arif  bijaksana).

Muhammad SAW dan para nabi serta rasul sebelumnya menjadi pemimpin bukan untuk mencari kekuasaan dan kekayaan duniawi, bukan meminta, tapi memberi dengan penuh  keikhlasan dan cinta kasih kepada kepada sesama sebagai ibadah kepada Allah SWT.

Pemimpin jenis inilah yang saya sebut profetik atau bersifat kenabian. Mayoritas rakyat negeri ini berharap pemimpin profetik dapat lahir lewat Pemilu legislaitif, 9 April 2014, untuk anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Propinnsi, DPRD Kota/Kabupaten dan Pemilu Presiden, 9 Juli 2014 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden profetik.

Fulitik
Untuk menyelenggarakan kedua jenis Pemilu lima tahunan sekali itu diperlukan biaya besar. Bukan hanya uang negara yang dikuras, tetapi juga kantong para caleg dan capres/cawapres. Bukan hanya uang yang keluar, tetapi juga tenaga dan pikiran. Kerja besar yang melelahkan, tapi hasilnya belum tentu mencerahkan dan bahkan seringkali sebaliknya, mengecewakan. Lalu, apa Pemilu tidak perlu? Ya tetap perlu, tapi jangan biaya sebesar itu dan orang-orang yang dipilih harus benar-benar bermutu.

Bagaimana akan menghasilkan pemimpin yang bermutu, jika masih saja terjadi jual beli suara alias transaksionalisme. Transaksi terjadi karena ada dua pihak yang saling memerlukan, yakni calon pemimpin dan pemilih. Calon pemimpin selalu dianggap sebagai pihak yang lebih kaya dan lebih butuh, sementara pemilih dianggap orang yang dibutuhkan untuk memberi suara. Karena membutuhkan suara, calon mengeluarkan uang dan atau dalam bentuk natura untuk membelinya. Di tingkat bawah, satu suara dihargai rata-rata Rp 50.000.

Kalau rakyat memang perlu atau butuh Ratu Adil, meskinya tidak perlu berharap atau minta uang. Dan, kalau calon merasa bisa menjadi pemimpin yang baik, meskinya ia tidak perlu membeli  suara. Kenyataannnya, apa yang disebut dengan “money politics” (politik uang)  atau “fulitik” (fulus dan politik) itu sampai saat ini masih berlangsung. Sejumlah caleg menuturkan, banyak calon pemilih terang-terangan bertanya: “Mana lainnya, kok cuma bosur dan pidato?”.

Sebuah realitas yang tragis. Sikap rakyat seperti itu tidak bisa saya terima. Tapi, saya lebih menyalahkan calon pemimpin yang memberi karena pamrih agar dipilih.

Seandainya “fulitik” bisa dihapus, masih besar juga uang yang dikeluarkan para calon untuk sosialisasi atau kampanye. Sejumlah  pihak mengatakan, sekitar 75 persen biaya adalah untuk beriklan di media massa, terutama televisi. Bagaimana jika media massa menyediakan iklan gratis secara adil kepada semua calon. Tentu, tidak semuanya harus gratis, karena media massa  perlu juga hidup dan bertumbuh-kembang.

Jika “money politics” tetap merajalela dan biaya sosialisasi tidak bisa dikurangi, jangan berharap pemimpin yang baik akan muncul, karena yang tampil lewat Pemilu hanya mereka yang berduit, yang belum tentu bermutu. Dan, dari manakah uang itu? Jangan-jangan, hasil korupsi, bisnis monopoli dan mengeruk sumber daya alam yang seharusnya juga milik generasi mendatang! Parni Hadi, Pemimpin Umum KBK

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here