Arus migran dari Bangladesh dan Myanmar ke kawasan Asia Tenggara kian marak akibat jaringan perdagangan manusia. Upaya pemberantasannya menjadi masalah pelik karena jaringan itu melibatkan aparat dan masyarakat.
Awal bulan ini, saya menemani sekelompok relawan Thailand melintasi kepengapan hutan bakau di sebuah pulau yang terletak di Laut Andaman. Mereka hendak menindaklanjuti laporan mengenai keberadaan kuburan tak bertanda di pulau yang digunakan oleh pedagang manusia untuk menahan sekelompok besar migran sembari menunggu kapal-kapal pengangkut menuju perbatasan Malaysia.
Usaha pencarian para relawan tak sia-sia. Mereka menggali sebidang tanah basah dan menemukan pecahan tulang. Lalu mereka menarik keluar kain pakaian yang basah kuyup. Ternyata itu adalah sehelai rok. Di dalam ditemukan tulang belulang seorang perempuan. Siapakah dia dan bagaimana dia tewas masih belum diketahui. Namun mereka hampir pasti bahwa itu adalah sisa-sisa jenazah salah satu migran.
Dia tentunya sudah melalui perjalanan laut yang melelahkan untuk mencapai lokasi ini. Bila dia hidup, mungkin perjalanan yang harus dilaluinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di Malaysia akan lebih buruk.
Dikumpulkan dan dianiaya
Bulan Oktober 2014 lalu, saya berada di area yang dekat dengan lokasi penemuan tulang-tulang tersebut. Kala itu, kami buru-buru meninggalkan Bangkok saat mendengarkan berita bahwa sekelompok migran diselamatkan oleh pejabat di wilayah Takua Pa. Di sebuah ruang terbuka kami menemukan 81 lelaki dalam kondisi stres, menangis dan berdoa.
Mereka adalah orang Bangladesh. Beberapa di antara mereka mengatakan telah dipaksa menaiki kapal yang membawa mereka ke pulau tersebut.
Bupati setempat, Manit Pianthong, membawa kami kembali ke tempat ia menemukan para migran, di hutan tidak jauh dari lokasi para relawan menemukan tulang belulang. Mereka telah kelaparan dan dipukuli selama beberapa hari.
Manit mengatakan wilayahnya sudah terbiasa didatangi pedagang manusia sebagai tempat transit. Dia ingin mengakhiri itu. Namun sekarang dia mendapatkan sedikit bantuan dari pemerintah pusat, atau dari penegak hukum setempat.
Selama beberapa hari, saya melihatnya menjawab panggilan telepon dari pejabat pemerintah dan kepolisian, yang mengkritiknya karena berbicara dengan media, dan menyuruhnya mengirimkan orang-orang Bangladesh itu ke pusat penahanan imigrasi.
Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak dari migran yang dikirim ke sana akhirnya akan dijual lagi kepada pedagang manusia.
Manit mengirimkan relawan anggota stafnya sendiri untuk keluar ke daerah perkemahan. Dia menempatkan pos penjaga di sepanjang rute jalan raya untuk menghentikan truk yang membawa migran. Dia berpesan kepada komunitas nelayan untuk mengabarinya bila melihat ada perahu masuk.
Arus kedatangan orang Bangladesh dan Rohingya dalam jumlah besar menunjukkan bahwa bisnis perdagangan manusia makin besar. Tidak heran, karena bisnis ini sangat menguntungkan.
Uang tebusan
Kelembapan di hutan itu mencekik. Seorang lelaki muda dengan kaus oranye terang dengan cepat berjalan menyalip saya yang ngos-ngosan mendaki. Tidak ada jalur untuk pejalan. Dia lalu berhenti dan berbicara.
Enam bulan lalu dia tinggal di sini, katanya, dengan 600 orang lainnya. Dia berbaring diantara dedaunan dan serangga untuk menunjukkan tempat dia tidur. Dia mengisahkan bagaimana para pedagang manusia menyuruh dia dan rekan-rekannya menelpon keluarga di kampung untuk meminta uang. Bila para pedagang manusia tidak bisa memberikan uang, para migran dipukuli.
Dia juga menunjukkan tempat perempuan-perempuan migran diperkosa. Banyak yang meninggal dan para pedagang manusia memanggil truk untuk membawa pergi mayat-mayat korban perkosaan tersebut.
Para pengungsi Rohingya yang tewas dimakamkan di Provinsi Songkhla, Thailand.
Para migran Bangladesh dan Rohingya mengira mereka diselundupkan ke Thailand atau Malaysia untuk mendapat penghidupan layak. Namun, sejatinya, mereka dijual ke jaringan pedagang manusia.
Harga untuk satu kapal penuh berisi 300 migran, menurut beberapa sumber termasuk kepolisian Thailand, mencapai US$20.000 (Rp 262 juta) atau lebih.
Setelah para pedagang manusia membayar uang tersebut ke pemilik kapal, mereka membawa migran dan pengungsi ke hutan. Mereka lalu menghubungi keluarga migran yang berada di Thailand dan Malaysia untuk meminta uang tebusan sekitar US$2000-US$3000 (Rp26 juta-Rp39 juta) per orang.
Jadi bagaimana para pedagang manusia dapat berbisnis dengan penduduk desa di sana?
Boy, seorang warga Thailand yang tinggal di desa dekat perkemahan para migran itu, menjelaskan bagaimana penduduk desa ikut dalam bisnis perdagangan manusia ini. Beberapa tahun lalu, katanya, dia sedang di luar memburu burung ketika bertemu dengan para migran, termasuk beberapa anak-anak, yang sedang dipukuli. Setelah itu dia diam-diam mulai menawarkan perlindungan bagi para migran yang kabur.
“Seluruh komunitas terlibat hanya karena uang,” katanya.
Boy menyaksikan bagaimana para pedagang manusia merekrut penduduk untuk mengawasi perkemahan migran serta membawa makanan. Dengan semakin menurunnya harga karet, penghasilan utama penduduk desa, ini adalah alternatif yang menggiurkan.
Persekongkolan
Apabila ada migran yang kabur dari lokasi penampungan, mereka bisa ditangkap dan berisiko dianiaya pengawas di sana.
Itu semua tidak mungkin terjadi tanpa persekongkolan dengan aparat. Siapa saja yang terlibat masih belum jelas. Namun tampaknya ini melibatkan pejabat dalam posisi tinggi.
Menjelang akhir tahun lalu, saya dijelaskan oleh seorang polisi senior yang sangat mengerti tentang perdagangan manusia. Dia menceritakan tentang salah satu kamp terbesar yang terletak di perbatasan dekat Malaysia. Kamp itu setidaknya dapat menampung 1.000 orang.
Kenapa tidak ditutup saja, tanya saya. Dia tertawa. “Anda tahu perbatasan itu daerah militer,” katanya. “Sebagai polisi saya tidak bisa melakukan apapun di sana tanpa persetujuan militer.”
Mengapa dia tidak ke Jenderal Prayuth Chan-ocha saja, yang memimpin kudeta militer tahun lalu dan berjanji menghentikan perdagangan manusia?
Bila saya mencoba itu, katanya, para pedagang akan tahu bahkan sebelum saya menemuinya dan mereka akan memindahkan kamp ke tempat lain. Yang bisa saya lakukan, katanya, hanyalah memperhatikan.
Para migran Bangladesh dan Rohingya mengira mereka diselundupkan ke Thailand atau Malaysia untuk mendapat penghidupan layak. Namun, sejatinya, mereka dijual ke jaringan pedagang manusia.
Pada hari yang lain, seorang anggota kepolisian lokal menceritakan upayanya untuk menghentikan perdagangan. Dia menawarkan perahunya kepada kami untuk keluar dan mencari perahu-perahu lain. Sehari setelah itu unit militer yang mengajak kami berpatroli dengan mereka mengatakan polisi kemarin sangat terlibat dalam perdagangan manusia.
Namun komitmen mereka sendiri diragukan ketika mereka menolak untuk menurunkan kami, seperti dijanjikan, di desa-desa yang diyakini menjadi tempat penampungan migran.
Salah satu petugas menunjukkan kita beberapa lembar kertas merinci penyelidikan terhadap tokoh bisnis terkemuka di Ranong, sebuah provinsi yang terkenal sebagai lokasi perdagangan manusia.
Dia memiliki informasi nama-nama, nomor telepon, jam-jam telpon, semua bukti yang menunjukkan jaringan perdagangan manusia. Informasi ini, katanya, telah diberikan kepada pemerintah pusat. Belakangan, pemerintah tidak menindaklanjuti informasi itu. Petugas itu sekarang telah dimutasi.
“Ya semua juga tahu itu merupakan lokasi kamp,” kata Phil Robertson dari Human Rights Watch. “Bukan hanya penduduk setempat yang bekerja di kamp dan ditugasi sebagai pengawas.”
“Ini adalah wilayah di perbatasan Thailand dan Malaysia dan di bawah kuasa militer. Jadi pasti daerah ini dipenuhi polisi dan militer. Tidak mungkin kamp-kamp sebesar itu dijalankan tanpa kerja sama dan imbalan.”
Perlakuan pemerintah Myanmar
Saya berdiri dengan sekelompok orang Rohingya, dua hari setelah mereka ditemukan. Saya bertanya berapa dari mereka yang khawatir bahwa keluarga mereka tidak bisa membayar tebusan yang diminta oleh para penyelundup? Hampir semua mengangkat tangan mereka.
“Kami tidak mau ke sini,” kata Mohammad, seorang guru di Rathedaung di Provinsi Rakhine, Myanmar. “Kami tidak mau meninggalkan tanah air kami. Tapi kami harus menyelamatkan diri. Pemerintah Myanmar sangat buruk. Mereka memukuli dan menembaki kami”.
Namun Mohammad tidak tahu apa yang akan dihadapinya di kamp, bila dia kabur dan bila ditemukan lagi oleh para pedagang manusia.
Kenyataannya, kata seorang sumber militer, banyak pengungsi etnik Rohingya yang dijual kembali ke pedagang manusia setelah mereka ditransfer ke pusat penahanan imigrasi di Ranong, Thailand.
Bisnis penyelundupan manusia di Thailand sangat menguntungkan sampai-sampai para pedagang manusia membuka ‘cabang’ bisnis di Bangladesh. Bila jaringan itu dipatahkan, jumlah perahu-perahu migran akan menurun drastis.
Pengungsi Rohingya dimintai uang tebusan oleh para pedagang manusia.
Akan tetapi, aparat Thailand tidak pernah memiliki bukti yang cukup untuk menahan atau bahkan menginterogasi orang-orang yang berkuasa di Ranong, Satun dan Songkhla yang dipercaya menjalankan bisnis ini.
Apakah aksi anti-perdagangan manusia ini dapat bertahan dalam jangka panjang?
“Kami percaya ada beberapa petinggi senior yang terlibat bisnis ini dan memperoleh banyak uang,” kata Phil Robertson dari lembaga Human Rights Watch. “Masih banyak yang harus dilakukan, banyak yang harus diungkap.
Titik terang mulai tampak tatkala kuburan massal para migran ditemukan.
Pada saat ini, lebih dari 80 surat penahanan telah dikeluarkan dan lebih dari 30 orang telah ditahan. Mereka termasuk seorang pebisnis tersohor dari Satun dan beberapa pejabat pemerintah. Kemudian, lebih dari 50 anggota kepolisian telah dimutasi. Namun tidak satupun anggota militer yang kena jerat hukum.
Apakah aksi anti-perdagangan manusia ini dapat bertahan dalam jangka panjang?
“Kami percaya ada beberapa petinggi senior yang terlibat bisnis ini dan memperoleh banyak uang,” kata Phil Robertson dari lembaga Human Rights Watch. “Masih banyak yang harus dilakukan, banyak yang harus diungkap. – Jonathan Head Wartawan BBC, Thailand