Men’s Mental Health Day 2025: Saatnya Mendobrak Sunyi, Merawat Jiwa Lelaki

dr. Imran Pambudi (Foto: Ist)

JAKARTA, KBKNews.id — Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, satu isu sering terabaikan: kesehatan mental lelaki. Di balik citra tegar dan sikap mandiri yang telah melekat sejak dini, banyak lelaki menyimpan luka batin yang dalam dan tak terlihat.

Men’s Mental Health Awareness yang diperingati setiap bulan Juni hadir untuk mengajak kita bersama mengkaji kembali konsep kekuatan, bahwa keberanian sejati terletak pada kemampuan mengakui kerentanan dan mencari dukungan ketika dibutuhkan.

Tahun ini, kampanye global mengusung pesan “Silence Isn’t Strength” – “kekuatan sejati bukanlah dengan menahan rasa sakit, melainkan dengan keberanian membuka diri”. Pesan ini menegaskan bahwa mengungkapkan emosi adalah langkah penting menuju kesehatan mental yang optimal.

Survei Sosial Ekonomi Nasional Indonesia 2023 menemukan ada sekitar 1,44 juta lelaki yang mengaku mengalami gangguan Kesehatan mental, 26% nya mengalami depresi, burn out dan krisis makna. Sedangkan yang mengakses layanan kesehatana mental hanya 18%.

Data global menunjukkan bahwa lelaki memiliki risiko bunuh diri yang jauh lebih tinggi dibandingkan wanita. Meskipun ide bunuh diri sering ditemukan lebih tinggi pada perempuan (5,9% ide bunuh diri pada perempuan dibandingkan dengan 4,33% pada lelaki), data percobaan atau aksi bunuh diri justru lebih dominan pada lelaki.

Berdasarkan data Global Burden of Disease 2021 di Indonesia, dari 6.544 kasus bunuh diri, sekitar 5.095 terjadi pada lelaki. Untuk kondisi skizofrenia, meskipun prevalensinya cenderung lebih tinggi pada lelaki (dengan rasio sekitar 1,88:1), terdapat perbedaan dalam manifestasi gejala.

Gender Paling Beresiko Gangguan Mental

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gejala depresi pada pasien skizofrenia lelaki sering kali lebih berat dibandingkan dengan pada pasien perempuan. Di sisi lain, gejala halusinasi cenderung lebih dominan dan signifikan pada pasien perempuan. Tekanan untuk mempertahankan citra “lelaki kuat” dan kebiasaan memendam emosi diyakini berkontribusi pada perbedaan ini.

Di Indonesia, berbagai survei dan laporan dari organisasi kesehatan menyebutkan bahwa norma sosial “toxic masculinity” yang menuntut keperkasaan membuat lelaki semakin enggan untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya, bahkan ketika tekanan sudah mencapai titik kritis. Mengubah paradigma ini sangat penting agar para lelaki tidak dihukum karena menunjukkan sisi rapuh mereka, melainkan didorong untuk saling mendukung dan mencari bantuan ketika perlu.

Sejak kecil, banyak anak laki-laki diajarkan untuk “tidak boleh menangis” dan menyembunyikan emosi sebagai simbol kekuatan. Budaya dan norma sosial yang mengidolakan maskulinitas ideal membuat mereka merasa bahwa mengungkapkan perasaan adalah tanda kelemahan. Pengalaman masa lalu yang menyakitkan—seperti penolakan atau penghakiman ketika mencoba terbuka—menjadi alasan utama mengapa sebagian lelaki memilih untuk memendam emosi. Akibatnya, menutup diri dari perasaan menjadi cara untuk mempertahankan citra kuat yang diharapkan oleh lingkungan sekitar.

Menahan perasaan secara terus-menerus tidak hanya berdampak pada kondisi mental, tetapi juga kesehatan fisik. Akumulasi stres emosional dapat meningkatkan kadar hormon stres yang, jika berlangsung lama, mengganggu fungsi organ vital dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Tekanan yang terus menerus dapat memicu penyakit kronis seperti hipertensi, gangguan jantung, serta masalah pencernaan. Di samping itu, emosi yang terus dipendam rentan berkembang menjadi kecemasan, depresi, dan dalam kasus ekstrem, bahkan pikiran untuk mengakhiri hidup.

Penumpukan emosi negatif yang tidak dikelola dengan baik berpotensi memunculkan berbagai gangguan, antara lain:

  • Depresi dan Kecemasan: Perasaan hampa dan putus asa yang tidak diungkapkan dapat berkembang menjadi gangguan mental yang serius.
  • Penyakit Kardiovaskular: Stres berlebihan meningkatkan risiko hipertensi, penyakit jantung, dan gangguan peredaran darah.
  • Masalah Pencernaan: Hormon stres yang terus-menerus dilepaskan dapat mengganggu fungsi sistem pencernaan, seperti pada kondisi Irritable Bowel Syndrome (IBS).
  • Penurunan Kekebalan Tubuh: Tubuh yang terus berada dalam keadaan stres cenderung memiliki sistem imun yang melemah, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.

Penekanan perasaan yang terus-menerus tanpa saluran yang sehat tidak hanya membahayakan kesehatan mental dan fisik, tetapi juga dapat memicu tindakan kekerasan dan kriminalitas. Ketika lelaki merasa bahwa mereka tidak memiliki ruang aman untuk mengungkapkan kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan, akumulasi emosi negatif dapat meluap secara impulsif.

Suatu kisah dari Bima, Nusa Tenggara Barat, pada Juni 2025, seorang lelaki yang telah lama menyimpan rasa sakit hati akibat penghinaan di sebuah pesta minuman keras akhirnya melakukan serangan brutal dengan parang terhadap seseorang yang pernah menghinanya. Kasus tragis ini menegaskan bahwa tekanan emosional yang tidak terelola dengan baik dapat berkembang menjadi tindakan kriminal ekstrem. Selain itu, banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga juga memiliki akar dari frustrasi dan kemarahan yang tertahan, memperlihatkan bahwa budaya menutup diri atas perasaan dapat berdampak lama pada keamanan sosial.

Mendorong keterbukaan emosional agar lelaki lebih terbuka mengungkapkan perasaan memerlukan pendekatan lembut, konsisten, dan empatik.

Beberapa strategi yang dapat diterapkan meliputi:

  • Menciptakan Ruang Aman: Bangun lingkungan di rumah dan tempat kerja dimana setiap perasaan dihargai. Hal ini membuat lelaki merasa nyaman untuk berbagi cerita tanpa takut dihakimi.
  • Menjadi Pendengar yang Aktif: Ketika lelaki mulai membuka diri, dengarkan dengan seksama tanpa menginterupsi. Tanggapan yang empatik dapat membantu mereka merasa didukung.
  • Memberikan Contoh Positif: Orang tua, pasangan, atau figur dewasa yang terbuka mengenai perasaannya dapat menjadi teladan bahwa mengakui emosi adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan.
  • Mengajak Bergabung dalam Komunitas Pendukung: Keterlibatan dalam kelompok pendukung kesehatan mental dapat memberikan bukti bahwa mereka tidak sendiri dalam menghadapi tekanan emosional.

Pola asuh positif memainkan peran krusial dalam membentuk cara anak laki-laki mengelola dan mengungkapkan perasaannya di masa depan. Sejak usia dini, anak-anak perlu dibimbing untuk mengenali dan mengekspresikan emosi dengan cara yang sehat.

Pendekatan pola asuh positif antara lain:

  • Memberi Teladan Secara Konsisten: Orang tua yang secara terbuka mengungkapkan perasaan—baik suka maupun duka—memberikan contoh nyata bahwa mengakui emosi adalah hal wajar dan tidak memalukan. Anak laki-laki cenderung meniru sikap ayah atau figur dewasa di sekitarnya, sehingga keterbukaan emosional dapat tertular melalui contoh positif.
  • Mendengarkan dengan Empati: Selalu mendengarkan cerita anak dengan penuh perhatian. Saat anak merasa didengar dan dihargai, mereka lebih mungkin untuk berbagi perasaan, termasuk hal-hal yang dianggap berat atau sensitif.
  • Mendorong Komunikasi Terbuka: Libatkan anak dalam diskusi tentang perasaan sehari-hari dan validasi setiap emosi yang muncul. Percakapan rutin dan kegiatan bersama dapat membantu anak memahami bahwa ekspresi perasaan adalah hal yang alami.
  • Memberikan Pujian dan Dukungan Secara Spesifik: Pengakuan terhadap perasaan dan pencapaian emosional anak dapat memperkuat kepercayaan diri mereka, menciptakan dasar bagi komunikasi emosional yang sehat di kemudian hari.

Di Indonesia, stigma seputar kesehatan mental masih kental, terutama di kalangan lelaki dewasa dan lansia. Banyak yang menganggap pengungkapan emosi sebagai tanda kelemahan atau kurangnya iman, hal ini menyebabkan mereka semakin cenderung menutup diri. Oleh karena itu, upaya lintas generasi melalui dialog terbuka, pelibatan tokoh agama dan budaya, serta integrasi layanan di Puskesmas sangat diperlukan. Langkah sederhana, seperti menanyakan “Apa kabar?” kepada orang terdekat, dapat membantu mengikis hambatan untuk mengungkapkan perasaan secara perlahan.

Memperingati Men’s Mental Health Awareness bukan sekadar momentum perayaan, melainkan juga ajakan untuk bersama-sama membongkar stigma seputar keterbukaan emosional. Dengan memahami akar permasalahan—dari norma budaya yang menekan hingga dampak serius kesehatan dan sosial—kita memiliki kesempatan untuk menciptakan lingkungan di mana setiap lelaki merasa aman dan didukung untuk menyampaikan perasaannya.

Melalui pendekatan strategis seperti menciptakan ruang aman, mendengarkan dengan empati, menerapkan pola asuh positif sejak dini, serta mewujudkan dukungan komunitas, diharapkan generasi mendatang dapat tumbuh menjadi pribadi yang seimbang secara emosional dan mampu mengekspresikan diri tanpa rasa takut.

Beberapa program Kesehatan jiwa yang sekarang dilaksanakan seperti Pertolongan Pertama pada Luka Psikologis dan Pengasuhan Positif diyakini dapat menjadi upaya yang strategis untuk bisa membuat lelaki lebih terbuka dalam menyampaikan perasaannya, selain itu pelaksanaan Skrining Kesehatan Jiwa pada anak sekolah dan dewasa diharapkan dapat mengidentifikasi secara dini permasalahan jiwa yang terjadi.

Puskesmas yang bisa memberikan Pelayanan Kesehatan Jiwa juga terus ditingkatkan jumlahnya dari sekitar 43% tahun 2024 menjadi 60% di tahun 2025. Jika tekanan yang mendorong penumpukan emosi dapat dikurangi, potensi terjadinya tindakan kriminal atau kekerasan akibat frustrasi yang tertahan pun dapat diminimalkan, untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman dan harmonis.

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here