Merawat Budaya Nusantara Menurut Para Pakar

Jakarta – Fokus Grup Diskusi (FGD) yang digelar oleh Dompet Dhuafa dan Bina Trubus Swadaya, menghadirkan empat narasumber dalam sesi pertama di FGD tersebut, dan Di moderatori oleh Wahyu Wiwoho, Wartawan Senior Media Group.

Ke empat narasumber tersebut yakni, Restu Gunawan, Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Nurhayati Rahman selaku Guru Besar Universitas Hasanudin, Garin Nugroho, Penggiat Seni Film dan Yudi Latif, Anggota Dewan Pembina Dompet Dhuafa.

Revitalisasi Cerlang Budaya Lokal Dalam Membangun Karakter Bangsa Sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat menjadi judul utama dalam diskusi ini. Keprihatian akan lunturnya budaya nasional menggerakan Dompet Dhuafa dan Bina Trubus Swadaya untuk tetap melestarikan budaya nasional, sekaligus mengangkat derajat masyarakat miskin melalui pelbagai program pemberdayaan masyarakat.

Restu Gunawan memaparkan peta indeks pembangunan kebudayaan di Indonesia. Hal yang mencengangkan dalam data tersebut adalah kesadaran terhadap budaya nasional sangatlah rendah. Ia mencontohkan misalnya minuman tradisional jamu, kosmetik skincare dan pakaian batik.

Jamu yang telah menjadi warisan kebudayaan dunia yang telah diakui oleh Unesco, namun mirisnya, apakah masyarakat modern saat ini meminum jamu ketika sakit, atau meminum jamu untuk menjaga kesehatannya?. Faktanya, jamu justru perlahan ditinggalkan dan di gantikan dengan obat-obatan modern.

Begitupun skincare, masyarakat lebih percaya menggunakan skincare korea ketimbang bahan bahan perawatan kulit tradisional.

Di kesempatan yang sama Nurhayati Rahman, akademisi yang meneliti sekaligus merekonstruksi kebudayaan melalui naskah-naskah kuno menjelaskan bahwa kebudayaan Indonesia merupakan kebudayaan yang sangat besar, bahkan satu satunya negara didunia yang memiliki 1000 suku di dalam satu negara. Hal ini Ia buktikan dengan mentranskrip La Galigo, yakni naskah kuno yang tercatat di beberapa negara, seperti di Amsterdam, Belanda. Sayangnya keberadaan naskah-naskah kuno tersebut justru dirawat diluar negeri karena Indonesia belum mampu merawat naskah kuno, dikhawatirkan akan rusak jika tidak dirawat dengan baik.

Lain halnya dengan Garin Nugroho, seorang sutradara kawakan tanah air, menjelaskan bahwa peran film dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, hanya saja untuk mengkomersilkan suatu film yang mengangkat tema budaya, sulit mendapatkan keuntungan. Itulah sebabnya banyak sineas film yang tidak menjadikan unsur kebudayaan dalam alur ceritanya.

Sedangkan Yudi Latif banyak menyoroti budi pekerti, yang diterjemahkan sebagai Budi yang berarti budaya dan pekerti yang berarti material yang dicetak sebagai perilaku. Itulah sebabnya banyak pergerakan ditanah air di pelopori oleh gerakan-gerakan yang terinspirasi oleh budi pekerti, seperti gerakan sumpah pemuda dan lainnya.

Di era digital seperti saat ini, sekat atau batasan negara menjadi bias, karena masyarakat dengan mudahnya berselancar di dunia maya dan menjadikan budaya asing sebagai tuntutan dan tontonan. Jika kita tidak perduli dengan budaya nusantara, bukan tidak mungkin akar budaya nasional hanya tinggal sejarah.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here