Sekali waktu, seorang bapak menjelang setengah baya datang ke kantor Dompet Dhuafa Singgalang di Padang. Seperti biasa sebagai lembaga amil zakat, kami hampir setiap hari didatangi orang. Baik oleh muzakki ataupun mustahik. Muzakki mengantarkan donasi berupa zakat, sedekah ataupun wakaf. Mustahik mengajukan permohonan untuk dibantu.
Si bapak ini datang menceritakan keadaannya. Kedua tangannya diamputasi karena kecelakaan kerja. Sebagai kepala keluarga dengan satu istri dan empat orang anak, musibah itu membuatnya terpukul. Sebelum kecelakaan itu ia hidup juga seadanya. Hanya sebagai pekerja bangunan. Padahal tanggungannya cukup banyak.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Sejak kedua tangannya diamputasi ia kehilangan pekerjaan. Istri yang ia harapkan bisa meringankan beban malah meninggalkannya. Mereka bercerai karena si istri tak siap menerima keadaan suami yang cacat permanen itu. Hingga empat orang anaknya dibagi dua. Dua orang mengikut suami, dua orang dibawa istri.
Si bapak dan kedua anaknya menetap di Padang. Sementara hidup mereka tergantung kepada orang lain/keluarga. Kedua anaknya putus sekolah. Namun kedua anaknya merawat si bapak dengan penuh cinta.
Sempat ia berputus asa menjalani hidup. Namun karena tanggungjawab terhadap anak, tak berapa lama semangat hidupnya kembali. Ia bertekad anaknya harus kembali bersekolah.
Tetangganya memberi jalan untuk ia datang ke Dompet Dhuafa Singgalang. Tahapan perjuangan agar anaknya kembali sekolah ia lakukan. Kami mengunjungi tempat tinggalnya. Mendatangi sekolah anaknya. Mengurus semua prosedur dan membayarkan biaya. Tak lama sejak kedatangan itu, kedua anaknya kembali bersekolah.
“Dengan keadaan seperti ini, saya tidak akan mau menjadi pengemis atau peminta-minta di jalan,” kata si bapak. “Saya akan kembali bekerja atau mencari modal untuk membuka usaha, walaupun saya cacat begini,” ucapanya dengan tekad membaja.
Mentalnya kuat, tidak miskin. Cacat fisik tidak menjadikan alasan untuk ia cacat mental. Ia yakin bahwa semua alur kehidupan adalah skenario Allah. Setiap usaha dan doa dengan cara yang benar, kebutuhannya akan dicukupi Allah.
Di lain waktu kami juga didatangi oleh seorang perempuan buta. Bajunya kusam. Berjalan dituntun dengan tongkat. Tanpa ada yang mendampingi. Semula kami mengira ia akan mengajukan bantuan. Namun dugaan kami salah.
“Saya mau menyalurkan zakat, ” katanya. Kami terdiam. Hening sesaat, antara yakin atau tidak. Ia mengeluarkan dompet dan menyerahkan sejumlah uang untuk dizakatkan.
Hampir setiap Ramadhan ia datang dan menyalurkan zakatnya. Tak tahu apa pekerjaannya tapi selama ini tak pernah saya melihat ia mengemis atau meminta-minta.
Begitu banyak pelajaran kehidupan yang kami dapatkan sebagai pengelola dana publik/amil zakat. Menjalankan amanah di antara dua golongan, kaya dan miskin. Seiring perjalanan waktu, saya menemukan makna miskin dan kaya dalam lingkup yang lebih luas.
Miskin secara materi belum tentu membuat orang miskin secara mental. Miskin materi bukanlah akhir dari kehidupan. Miskin secara mental lebih buruk dari kemiskinan materi. Miskin secara materi tapi kaya secara mental adalah implementasi syukur.
Begitupun dengan kaya. Orang yang kaya secara materi belum tentu kaya secara mental. Buktinya banyak orang kaya/berjabatan tapi mau berbuat tamak/korupsi.
Kaya secara materi dan mental dalam bentuk berbagi kepada sesama adalah nikmat kehidupan di alam dunia. Kebahagiaan di yaumil akhirat. – Musfi Yendra (Kepala Cabang DD Singgalang)