Misteri Bungkusan Putih

Pagi itu mata saya sudah tak kuat menahan kantuk, setelah satu malam terjaga, piket malam memantau bencana di kantor Disaster Management Centre. Tapi seketika rasa kantuk itu hilang ketika tiba-tiba mendapatkan kabar bencana longsor di Cililin, dari running text salah satu tv swasta nasional. Tak menunggu waktu, saya segera berkoordinasi dengan tim dan mengkontak beberapa relawan di Bandung untuk melakukan assesment pertama. Begitu matahari menyingsing tim assessment pun bergerak ke lokasi, mengambil data dan gambar untuk kami olah sebagai persiapan terjun ke lapangan.

Setelah semua persiapan dirasa cukup, kami berangkat. Saya pergi bertiga, bersama dengan Ican dan Bang Adi. Di lokasi, saya bertemu Pak Doding. Relawan setempat yang telah banyak membantu Dompet Dhuafa. Oleh Pak Doding kami pun diperkenalkan pada Pak Unen, tokoh masyarakat setempat.

Di rumah Pak Unen banyak warga yang mengungsi. Daerah tersebut terisolasi karena putusnya semua akses. Sebagian daerah di kawasan itu terkena longsor. Belum ada bantuan maupun relawan yang masuk. Kebanyakan bantuan terpusat di lokasi atas yang lebih aman. Karena itulah akhirnya kami memutuskan untuk memulai evakuasi dan membangun bantuan disana.

Ada dua tenda posko yang kami dirikan disana. Dua tenda itu digunakan untuk posko hangat, sekolah ceria, dan dapur umum. Hampir tak ada kesulitan berarti ketika mendirikan posko ini. Masyarakat setempat sangat kooperatif dalam pendirian posko. Agar masyarakat juga merasa memiliki, posko ini pun dikelola bersama-sama. Kami menjadi fasilitator yang menghubungkan dengan pihak-pihak luar, misalnya dengan Kampus Peduli Bandung yang membantu penyelenggaraan Sekolah Ceria. Masyarakat pun sangat aktif membantu berbagai kegiatan di posko.

Berbagai kegiatan kita lakukan di posko, termasuk juga Sekolah Ceria untuk anak-anak. Banyak anak yang bermain, tertawa, dan bersenang-senang disana. Lama-kelamaan bantuan pun berdatangan. Mungkin awalnya hanya dari masyarakat desa sekitar yang datang untuk melihat-lihat lokasi longsor, namun akhirnya meluas sehingga posko pun semakin ramai dikunjungi para pemberi bantuan.

Saya sempat terharu ketika bantuan-bantuan terus berdatangan memenuhi posko yang kami dirikan. Bantuan itu datang dari berbagai penjuru, dari masyarakat juga dari berbagai lembaga. Mungkin karena ketika mereka datang, mereka tak hanya bertemu kami tapi juga bertemu masyarakat. Mereka bisa langsung menanyakan kebutuhannya. Para warga pun tak henti-henti bersyukur dan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Pasalnya, sebelum kami datang dan posko didirikan,  warga setempat terisolasi selama dua hari tanpa bantuan apapun.

Evakuasi dan Bungkusan Kain Putih
Selain mendirikan posko, kami juga fokus untuk mengevakuasi warga. Bersama TNI dan warga yang selamat kami melakukan evakuasi dengan alat seadanya: cangkul dan skup mini. Beberapa bahkan melakukan evakuasi dan menggali tumpukan tanah dengan tangan kosong karena minimnya peralatan.

Untuk memaksimalkan SDM, kami membagi kawasan menjadi beberapa titik. Setiap titik dikerjakan 15 orang secara bergantian. Kami menggali tanah, menyingkirkan reruntuhan bangunan, dan mengevakuasi korban-korban longsor. Yang paling saya ingat, ketika megevakuasi kami hanya menemukan bagian-bagian yang terpisah. Tak jelas bentuknya apakah itu kaki atau lengan, ada pula kepala yang terpisah dengan badannya. Perasaan saya campur aduk. Saya merasa bingung melihat tubuh yang terpotong-potong. Tapi kahirnya kita cuci dan kita bawa ke mushalah yang digunakan sebagai tempat mengumpulkan jenazah. Di sana sudah menunggu tim forensik untuk identifikasi lebih lanjut.

Saya juga merasa terenyuh, ketika mengevakuasi jasad ibu dan anak yang saling berangkulan tak jauh dari sebuah rumah yang masih kokoh berdiri diantara longsoran. Ibu dan anak itu tampak ingin saling melindungi. Tak jauh dari jasad ibu dan anak itu, di dekat pintu rumah  juga ditemukan jasad laki-laki yang konon suami dari ibu yang meninggal tersebut. Kejadian ini membuat saya kembali memikirkan, betapa hidup dan mati sungguh hanyalah milik Allah semata.

Selain itu semua, selama menangani bencana ini ada pula kisah yang meremangkan bulu kuduk. Saya ingat betul malam itu kami bersepakat untuk menaruh diesel di mushala yang digunakan sebagai tempat penampungan jenazah.   Jam tangan berkisar di angka 10 malam itu, gerimis rintik-rintik dan udara sangat dingin. Sampai di mushollah, kami justru malah merasakan hawa yang berbeda dibandingkan biasanya. Setelah meletakkan diesel, memasang stiker jenazah dan mengambil galon, entah bagaimana ada bungkusan bulat berwarna putih di dekat kami. Dalam diam kami saling menatap, tadi pagi kami baru saja mengevakuasi potongan kepala. Bulu kuduk kami meremang. Lalu tanpa aba-aba, kami semua berlari, bergegas pergi dan kembali ke posko utama, kami tak ingin mencari tahu apakah itu benar potongan kepala, atau yang lainnya.

Saya banyak belajar dari bencana yang terjadi di Cililin, Bandung ini. Nasib, hidup, dan mati seseorang benar-benar merupakan rahasia Allah. Kita semua hanya dapat berdoa, semoga meninggal dalam sebaik-baik iman dan amalan. [Sepnurmudin/DMC]

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here