spot_img

Ngopi Mencegah Kantuk?

DI masa kampanye tempo hari pernah menjadi viral, ketika Capres Prabowo menyetop pidatonya saat terdengar adzan dhuhur. Masalahnya, dia bukan istirahat untuk salat, melainkan mau ngopi dulu. Ini yang diviralkan. Padahal bisa saja kan, karena sebagai musafir dia sengaja salatnya mau dijamak takkhir, yakni salat dhuhurnya nanti pas salat asar saja sekalian. Ini normal saja. Tapi yang tak kalah menarik, kenapa Prabowo prioritaskan “ngopi dulu”? Memangnya sudah ngantuk, sehingga merasa perlu soal ngopi harus didahulukan?

Bahwa ngopi mencegah ngantuk memang sudah lama menjadi isyu nasional, jauh sebelum era reformasi, bahkan sebelum Ore Baru. Di pasca Pilpres ini, juga tak ada kubu yang merasa perlu membantah isyu tersebut. Di kubu Prabowo misalnya, beliaunya memang doyan ngopi. Capres No. 02 itu pernah mengaku, jika minum kopi bisa tahan pidato sampai 3-5 jam. Pertanyaannya, yang mendengar tahan nggak? Dengar pidato sebegitu lama, lalu kapan kerjanya? Bukankah pemerintah selalu mengingatkan pada rakyatnya, “Kerja, kerja, kerja……!”

Yang percaya kopi pencegah ngantuk, beginilah teorinya. Pada setiap cangkir kopi yang Anda minum, terdapat kandungan kafein. Inilah biang keroknya sehingga membuat rasa kantuk Anda menghilang. Kafein bekerja dengan cara menstimulasi sistem metabolisme dan sistem saraf pusat tubuh. Karenanya Anda pun merasa lebih bertenaga, tidak mengantuk, dan meningkatkan konsentrasi. Maka tak mengherankan, jinggle permen Kopiko mengatakan, “Bila Anda ngantuk, tak sempat ngopi… ambil saja Kopiko…” 

Tapi tak semua orang sensitif pada kafein, banyak juga yang kebal. Orang model begini, minum berapa gelas kopi pun kalau mau ngantuk ya ngantuk saja. Mereka baru percaya dan hakul yakin, rasa kantuk itu akan mendadak hilang manakala segelas kopi panas itu diguyurkan ke kepala, byurrrr…..! Dijamin seketika ngantuknya hilang.

Tapi jangan salah, siraman kopi panas juga tak hanya menghilangkan kantuk, bisa juga berefek samping hukum. Kok bisa? Bisa saja,  karena kopi malah bisa mengakibatkan marah. Ini pernah terjadi pada November 2013 di RS Husada, Mangga Besar, Jakarta. Kala itu ahli kandungan dr Fransiska menanyakan apa hubungan pasien dengan lelaki pengantarnya? Eh, cowok yang mendampingi pasien marah. Mungkin dia merasa dituduh sebagai penghamil pasiennya, langsung saja siramkan kopi ke Bu Dokter. Nah, sampailah ke urusan hukum.

Kopi tak sekedar diminum untuk penghaus dahaga, tapi juga pendekatan dalam pergaulan. Di kampung-kampung, kakek-nenek merasa tersanjung jika diberi oleh-oleh gula kopi dan teh oleh tamunya. Tapi kopi juga menaikkan gengsi peminumnya, ketika diminum di gerai Starbuck, misalnya. Bagaimana tidak? Di warung  biasa uang Rp 10.000,- sudah dapat segelas kopi dan pisang goreng. Tapi di Starbuck segelas kopi bisa berharga sampai Rp 50.000,-

Harian “Pos Kota” di Ibukota di halaman I punya rubrik “Kopi Pagi” yang ditulis langsung oleh Harmoko mantan Menpen era Orde Baru. Beliau memang tahu persis tentang perkopian, sehingga pernah mengatakan, “Kopi paling nikmat justru diminum tanpa gula.” Masa iya? Yang jelas Harmoko ini di kala muda memang seniman Senen yang suka ngopi bersama sesama seniman di warung daerah Senen. Mereka betah sekali minum di situ. Bukan saja sekedar ngobrol, tapi menunggu sampai datang siapa yang mau bayari.

Bagi orang Surabaya, khususnya penggemar ludruk, pasti tahu parikan (pantun) yang berbunyi: Riyaya gak nggoreng kopi ngadep meja gak ana jajane, jaka cilik kok wis wani rabi , bareng ditagih blanja ngedol clanane. Pantun Jawa ini merupakan sindiran bagi anak muda yang kebelet kawin, tapi belum punya penghasilan. Akhirnya dia menjadi “tenaga penjual”. Bukan dalam arti salesmen, tapi benar-benar jual celana, agar keluarganya bisa makan. Di era gombalisasi sekarang ini, banyak kejadian seperti itu. Menikah karena terpaksa, akibat kecelakaan ranjang lantaran kebanyakan nonton video porno di internet. (Cantrik Metaram)

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles