Perayaan Idul Fitri atau yang biasa kita sebut dengan Lebaran, selalu identik dengan suasana penuh sukacita, berlimpahnya makanan dan menjadi momen-momen berkumpul bersama keluarga. Setelah berpuasa selama sebulan lamanya, menahan diri dari godaan makan, minum, syahwat dan emosi, hari kemenangan pun dirayakan dengan meriah. Kemeriahan tersebut bahkan dirasakan dari H-3 atau H-4 tatkala kita berada di pasar-pasar maupun pusat perbelanjaan yang semakin hari makin ramai.
Bermacam-macam orang datang dengan kebutuhan yang berbeda pula, ada yang ingin membeli baju baru, ada yang ingin membeli kue-kue kering, ada pula yang membeli bahan makanan tujuannya tak lain adalah untuk mempersiapkan Hari Raya yang spesial.
Namun, dibalik kemeriahan hari Raya yang penuh sukacita, terdapat sebuah paradoks yang cukup menggelitik. Hal ini umumnya dirasakan oleh kalangan urban menengah keatas. Ketika memasuki hari kedua, saat stok opor dan ketupat sudah habis karena dimakan bersama keluarga di hari Raya kemarin, disitulah gejolak (perut) dimulai bagaikan adegan sebuah film bertema distopia, nelangsa.
Di hari kedua Lebaran, tiba-tiba kita disergap oleh realitas perjuangan mengisi perut yang lapar telah menjadi sebuah ajang “survival”. Asisten Rumah Tangga mudik, tukang sayur langganan tidak nampak, rumah makan tutup, supermarket ikut libur, dan driver ojek online yang biasa jadi penyelamat pun tampaknya sedang merayakan hari kemenangan di kampung halaman.
Perut yang lapar dan dorongan untuk bertahan hidup memaksa kita untuk membongkar isi lemari, melihat setiap sudut bagian kulkas, hingga lakukan pengecekkan di kolong-kolong meja makan. Mengumpulkan bahan-bahan makanan yang masih tersisa, hingga sebungkus mie instan dan selembar sawi yang sudah layu pun terlihat begitu menggembirakan.
Ironis memang, hal ini terjadi bukan karena kita kekurangan sumberdaya, namun lebih karena ketergantungan kita pada support system yang bahkan mungkin dihari-hari biasa cenderung kita abaikan. Sejenak kita diingatkan bahwa kita adalah makhluk sosial yang tidak mungkin bisa hidup sendiri sekaligus menegaskan kita ini bukan siapa-siapa tanpa orang lain.
Sementara para pekerja domestik yang biasanya menghidupi dapur dan ritme rumah tangga, tengah menikmati haknya untuk berlibur dan berkumpul dengan keluarga. Dan justru di momen inilah kita disadarkan: bahwa keseharian kita berjalan lancar bukan semata karena kecanggihan teknologi atau penghasilan tinggi, tapi karena kerja-kerja sunyi yang sering kali luput dari apresiasi.
Paradoks Lebaran kaum urban bukan hanya tentang perut yang lapar di tengah hiruk pikuk perayaan Hari Besar, namun menjadi cermin betapa krusialnya kerja sunyi orang-orang disekitar kehidupan kita yang layak diapresiasi karena tanpa mereka, urusan perut lapar bisa menjadi sebuah masalah besar.
Selamat Hari Raya. Selamat merefleksikan.