PBB mencatat, 11badai siklon dan lima badai besar yang terjadi setiap tahun membuat krisis iklim terus memecahkan rekor baru yang memicu terjadinya cuaca ekstrim siklon tropis yang makin parah, curah hujan tinggi dan banjir.
Sekjen World Meteorological Organization (WMO) Celeste Saulo dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/11) menyebutkan, salah satu bencana yakni Badai Beryl, yang termasuk badai kategori 5 di cekungan Atlantik.
Amukan badai tersebut terjadi pada Juli lalu dan menyebabkan kerusakan hebat di Karibia, namun meskipun cukup dahsyat, badai Beryl mengakibatkan lebih sedikit korban jiwa dibandingkan dengan badai-badai sebelumnya berkat kemajuan sistem peringatan dini.
Menurut catatan, Baday Beryl yang menerjang Kepulauan Cayman 5 Juli lalu bergerak menuju wilayah Meksiko, paling tdak menewaskan 11 orang dan empat hialng.
Badai Beryl mulai melambat pada Agustus 2024, karena kondisi atmosfer di Afrika Barat. Namun, frekuensi dan intensitas badai melonjak pada awal September yang memicu tujuh badai.
Bencana lainnya ialah badai Helene yang menerjang Pantai Teluk Florida, memicu banjir dahsyat di Pegunungan Appalachia bagian selatan, dan kerusakan akibat angin yang meluas di seluruh Amerika Serikat bagian timur.
Kemudian, banjir akibat gelombang badai di sepanjang pantai Florida. “Dengan lebih dari 150 korban jiwa langsung, Helene menjadi badai paling mematikan yang melanda negara itu sejak Badai Katrina pada 2005,” ungkap Saulo.
Sementara Badai berkategori 3, Milton menerjang daratan dekat Siesta Key, Florida, memicu 46 kali tornado, hujan deras, dan banjir parah.
Namun masalahnya, penanganan krisis iklim tidaklah murah. Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB memperkirakan, pembatasan kenaikan suhu hingga 1,5 derajat C, membutuhkan investasi lebih dari 3-6 triliun dollar AS setiap tahun hingga 2050.
Untuk mengumpulkan dana yang sangat besar tersebut, pemerintah dan perusahaan beralih ke obligasi hijau dengan mengurangi emisi emisi karbon 55 Juta ton per tahun pada Conference of the Parties 29 (COP29) yang digelar di Baku,Azerbaijan, 11 – 22 November lalu.
Indonesia dalam pertemuan itu didesak untuk mengamankan Pembiayaan terkait penanganan Iklim yang diperoleh dari investor untuk digunakan secara eksklusif membiayai proyek-proyek yang berdampak positif terhadap lingkungan, seperti energi terbarukan dan bangunan hijau.
Seiring dengan negara-negara di seluruh dunia meningkatkan upaya mereka untuk mengurangi emisi karbon, pasar obligasi hijau pun sedang berkembang pesat.
Pertumbuhan pesat ini pertama kali disorot Oktober 2021, ketika Uni Eropa (UE) menerbitkan sekitar 14 miliar dollar AS obligasi, menjadi transaksi terbesar yang pernah ada saat itu.
Obligasi Hijau pertama kali diterbitkan pada 2007. Pasar kemudian tumbuh perlahan selama hampir satu dekade dan mulai meningkat. Inisiatif hijau global seperti Perjanjian Paris tentang perubahan iklim dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB telah membantu memacu ekspansi tersebut.
Permintaan yang kuat untuk obligasi hijau juga mendorong pertumbuhan investor untuk membelinya, mulai dari manajer aset hingga perusahaan asuransi dan dana pensiun.
Menurut S&P Global, penerbitan tahunan semua obligai hijau (green, social, sustainable, and sustainability-linked bonds- GSSSB) dapat mencapai 1,05 triliun dollar AS pada 2024, naik 0,98 triliun dollar AS dari 2023.
Angka-agka tersebut masih merupakan ceruk di pasar pasar obligasi global secara keseluruhan di mana pangsa GSSSB dalam penerbitan obligasi global dapat mencapai 14 persen pada tahun 2024.
Jadi, masih ada banyak ruang bagi GSSSB dan obligasi hijau untuk terus tumbuh. Obligasi hijau juga menyediakan akses ke basis investor yang lebih luas, termasuk mereka yang berfokus pada investasi yang bertanggung jawab secara sosial dan berpotensi menyebabkan kelebihan permintaan dan harga yang lebih menguntungkan.
Kelompok investor yang diperluas ini tentunya dapat membantu mendiversifikasi sumber pendanaan dan berpotensi mengurangi biaya pinjaman.
Selain itu, obligasi hijau dapat menawarkan insentif pajak di beberapa yurisdiksi, seperti pengecualian pajak atau kredit, yang membuatnya lebih menarik daripada obligasi kena pajak yang sebanding.
Dengan menerbitkan obligasi hijau, perusahaan dan pemerintah dapat menyelaraskan strategi pembiayaan mereka dengan tujuan keberlanjutan mereka, yang berpotensi menarik pelanggan dan mitra yang sadar lingkungan.
Upaya untuk menekan dampak cuaca ektrim menuntut cawe-cawe setiap negara, karena memang masalah kita bersama.