Jakarta – Dompet Dhuafa (DD) bersama dengan Trubus Bina Swadaya (TBS) menggelar pentas budaya “Ketoprak” pada Rabu (13/11/2024) di kantor pusat Dompet Dhuafa, Philanthropy Building, Jakarta Selatan. Para pelakon seni budaya merupakan Insan DD dan TBS, yang berkolaborasi untuk menjaga eksistensi budaya nusantara.
Tema “Renaissance Budaya Lokal (Jawa) dalam Pemberdayaan Kaum Miskin” yang diangkat mencerminkan komitmen untuk memanfaatkan nilai-nilai luhur warisan leluhur sebagai daya dorong yang mampu membebaskan masyarakat dari belenggu keterbatasan melalui gerakan kebudayaan.
Pentas seni ini tidak hanya menatap ke belakang untuk menghormati warisan nenek moyang, tetapi juga menghidupkannya sebagai inspirasi yang membawa harapan baru bagi mereka yang selama ini terpinggirkan.
Tema “Renaisans Budaya Lokal Jawa dalam Pemberdayaan Kaum Miskin” yang dipilih oleh Panitia, bukanlah sekadar upaya untuk menumbuhkan wawasan yang “Jawa-Sentris” atau “Yogya-Sentris.” Melainkan, ia hadir sebagai panggilan bagi anak bangsa, untuk kembali merenung, menelaah kedalaman budaya, dalam perannya sebagai pilar pemberdayaan masyarakat.
mengadaptasi pemikiran Yudi Latif (2014) ada tiga simpul utama rahim budaya yang dapat menjadi basis Gerakan Kebudayaan, yakni Pendidikan, Diskursus, dan Ruang Publik.
Pertama, lembaga pendidikan tidak hanya dipahami sebagai wahana transmisi ilmu pengetahuan, tetapi mencakup pembelajaran dalam rangka mereproduksi kebudayaan. Bahwa pendidikan, juga sebagai media transmisi dan transformasi kebudayaan. Maka, seorang guru tidak hanya menjalankan kurikulum dan didaktik-metodik, tetapi juga memberi arah agar anak didik menjadi aktor perubahan dalam gerak kebudayaan.
Dengan memberi ruang, pada khazanah budaya dan sejarah lokal, berarti dunia pendidikan berusaha melakukan “re-koneksi” dengan proses pembudayaan, yang menjadi titik akhir pendidikan nilai-nilai.
Kedua, praktik diskursus, sebagai proses produksi, distribusi dan konsumsi teks, dipandang penting sebagai sebuah medium dan instrumen, dalam Gerakan Kebudayaan. Pergulatan kuasa, awalnya berlangsung dalam sebuah wacana yang mentransmisikan dan memproduksi peradaban sebagai akar kebudayaaan. Wacana, paling tidak memiliki tiga efek konstruktif: memberikan kontribusi bagi pembentukan ‘identitas sosial’, ‘relasi sosial’ dan ‘ideasional’ dalam masyarakat.
Ketiga, ruang publik dipandang penting karena merupakan lokasi tempat wacana diekspresikan, serta ruang kegiatan intelektual dan kebudayaan diaktualisasikan. kemudian, dengan berkembangnya industri media, telah menjadikan media massa ruang publik baru.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan, budaya dan pemberdayaan masyarakat, harus menjadi fondasi utama yang menggerakkan setiap lapisan bangsa ini. Membawa kita dari sekadar membangun angka, melainkan menjadi gerakan untuk mencipta sebuah peradaban yang adil dan sejahtera.
Untuk mencapainya, pendidikan karakter menjadi kunci. Dari sekadar “mindset” menuju “culture-set”, pendidikan karakter adalah upaya mendasar dalam membentuk masyarakat yang literat, mandiri, dan penuh empati. Kita tidak sekadar mengajarkan nilai, tetapi menanamkan karakter yang mengakar dan tumbuh, menjadi budaya hidup yang menyatu dalam diri setiap individu.
Pendidikan karakter menanamkan sikap tanggung jawab, kemandirian, dan kepedulian sosial yang tidak hanya membekali anak bangsa secara akademis, tetapi juga secara moral dan spiritual—membentuk mereka sebagai agen-agen perubahan yang akan membawa gelombang kebaikan dan pembaharuan di tengah masyarakat.