KURAWA satus terkenal sebagai wayang pemalas, tapi ingin hidup enak lewat fasilitas negara. Bila di Indonesia BLT hanya 3 bulan, di negeri Ngastina para pangeran bisa seumur hidup. Jumlahnya pun bukan Rp 150.000,- tapi Rp 20 juta setiap bulan, jadi mirip Tim Gubernur DKI saja. Ironisnya, dengan jaminan sebanyak itu mereka juga malas bayar pajak. Bila ditagih jawabnya klasik, “Keluarga raja kok bayar pajak, apa kata dunia?”
Kondisi inilah salah satu penyebab mengapa Patih Sengkuni ngotot alkhotot harus menguasai bumi Ngastina yang mustinya menjadi hak keluarga Pandawa Lima. Sebab hanya dengan kekayaan negeri Ngastina tersebut, Kurawa satus bisa dimanjakannya dengan berbagai jaminan. Padahal jika keluarga Kurawa mau ditransmigrasikan ke Lampung atau Kalimantan, selesailah problem itu. Negeri Ngastina bisa dipulangkan dengan baik pada Puntadewa Dkk.
“Anak-anakku kan nggak bisa macul, mana mungkin jadi transmigran. Jadi kamu Sengkuni, harus bisa terus mempertahankan bumi Ngastina ini untuk kesejahteraan Suyudana dan adik-adiknya,” begitu kata Dewi Gendari pada Sengkuni.
”Tapi aku capek berdiplomasi di PBB, banjir protes karena terus menguasai negara yang bukan haknya, mbakyu.” jawab Patih Sengkuni adik kandung Dewi Gendari itu.
Sorotan PBB masih bisa disiasati, tapi protes dan kecaman anak-anak Pendawa yang datang silih berganti benar-benar bikin capek Prabu Duryudana dan patih Sengkuni. Mereka sering sekali demo bakar foto Duryudana – Sengkuni di depan istana Gajahoya. Paling keterlaluan, pernah pula Gatutkaca – Antasena Cs nuntun kerbau ke depan istana dan ditulisi: DYDN (Duryudana). Bahkan pernah pula babi dibawa-bawa, ditulisi nama: SKN (Sengkuni).
Pernah pula Patih Sengkuni minta pada SBG (Sanghyang Bethara Guru) penguasa kahyangan, agar Perang Baratayuda dipercepat, sehingga status Ngastina menjadi lebih jelas. Maksudnya, dengan kematian Pendawa Lima berikut anak-anaknya, tak ada lagi yang menuntut kembalinya bumi Ngastina. Maklum, dengan jumlah personal yang lebih banyak, Patih Sengkuni yakin mampu membinasakan Pendawa.
”Jangan nggege mangsa, anggaran multi years belum siap. Kami takut dana Perang Baratayuda malah dikorupsi.” demikian SBG menolak usulan itu.
”Kami siap diaudit BPK dan KPK, pukulun….” rayu Patih Sengkuni kala menghadap di Bale Marcakunda.
”Kamu masih percaya BPK? Lihat berapa oknum ouditornya yang ditangkep KPK gara-gara punya ”filosofi” cek sana sini tidak cocok, begitu diberi cek langsung cocok….?” sindir Betara Guru.
Makanya kahyangan tetap bergeming, sehingga Patih Sengkuni kembali ke ngercapada dengan tangan hampa. Namun sebagai patih yang berotak briliyan, Sengkuni tak mau menyerah pada nasib. Setelah laporan pada Prabu Duryudana, dia mengajukan usul bagaimana membinasakan Pendawa Lima dengan cara jitu. Percobaan pembunuhan ala Bale Sigala-gala dulu, itu sudah kuno dan kini dicarikan teknik baru yang lebih efektif dan ekonomis.
Sengkuni memaparkan rencana ”proyek”-nya pada sebuah buku tipis, lengkap dengan gambarnya, semacam proposal. Judulnya: Pendawa Pinaeka (dibuat celaka), kebijakan politis praktis. Prabu Duryudana manggut-manggut, apa lagi di situ disebutkan hanya butuh dana sekitar Rp 100 miliar, jauh lebih kecil dari Proyek Hambalang. Semula proyek itu akan dikerjakan oleh PT-nya Patih Sengkuni sendiri, tapi kemudian dipindahkan kepada Arya Burisrawa, putra dalem raja Mandaraka, yang sekakigus juga adik ipar Prabu Duryudana. Itupun karena dikritisi LSM semacam ICW.
”Biarlah ini jadi hiburan dia, daripada sehari-hari melamunkan Sembadra yang sudah dikawin Harjuna.”, kata Prabu Duryudana beralasan.
”Orang bodoh, memangnya perempuan di dunia hanya Sembadra. Kan masih ada Syahrini yang cantik nan kaya itu.” tambah Patih Sengkuni.
Demikianlah, proyek Stadion Hambawang mulai dikerjakan tanpa melalui tender dan lelang. Semua dikerjakan atas dasar penunjukan. Di tempat inilah nantinya keluarga Pandawa Lima akan diundang, untuk sebuah pertemuan akbar kerjasama ekonomi yang mengarah kepada perdagangan global. Artinya, keluarga Pendawa boleh bisnis sampai Ngastina, dan keluarga Ngastina boleh bisnis hingga Ngamarta.
Selain pertemuan inti antara Pendawa Lima dan Kurawa Satus, di waktu yang sama juga akan digelar panggung gembira bagi masyarakat. Sejumlah jalan protokol senagaja ditutup untuk memberi kesempatan pedagang K-5 berjualan. Ketika diprotes penghuni seputar jalan itu, Patih Sengkuni beralasan: ini bentuk sebuah keberpihakan.
Di luar areal Stadion Hambawang, sejumlah pertunjukan musik, termasuk campursari, akan dihadirkan juga dengan kordinator juga Arya Burisrawa. Dia memang jadi pemborong yang borongan, apa saja siap mengerjakan, dari proyek kelas kakap hingga wader cethul.
”Ada pertunjukan Topeng Monyet nggak?” tanya pers pada Patih Sengkuni.
”Rencana ada, tapi karena nggak enak sama Hanoman dari Kendalisada, dibatalkan.” jawab Sengkuni dengan senyum khasnya, sedikit menyeringai.
Tepat tanggal 1 Januari 2018 perundingan Pendawa – Kurawa itu digelar di Stadion Hambawang. Hadir dari kubu Pandawa: Puntadewa, Werkudara, Harjuna, Nakula, Sadewa dan Dewi Kunthi. Dan dari kubu Ngastina dihadiri oleh Prabu Duryudana lengkap dengan 99 adiknya, yang mayoritas pakai nana depan Dur.
Ada dua tokoh sentral dari kedua negeri itu, Pendita Durna (Ngastina) dan Betara Kresna (Ngamarta); sengaja tak dihadirkan. Alasannya, keduanya bukan trah Kurawa-Pandawa secara langsung. Dikhawatirkan, kehadiran mereka sangat mempengaruhi hasil perundingan.
”Selamat datang dimas Puntadewa Cs, saya sangat senang bertemu Anda Cs,” kata Prabu Duryudana, kebarat-baratan.
”Saya juga senang bertemu kangmas Duryudana,” jawab raja Ngamarta tersebut.
Sebelum tiba di perundingan kerjasama ekonomi, lebih dulu dilakukan koor lagu kebangsaan negara masing-masing. Tempatnya di panggung utama, dan Pendawa mendapat giliran pertama, sehingga Puntadewa Cs pun maju ke depan bersama dirigent lulusan sekolah musik milik Purwacaraka yang buka cabang di negeri Purwacarita.
Tapi sial rupanya, di kala rombongan Pendawa itu hendak ambil suara di bawah komando sang dirigent, mendadak lantai panggung ambrol. Dalam sekejap Pendawa Lima, Dewi Kunthi dan dirigentnya hilang lenyap. Keluarga Ngastina bersukaria, karena sudah berhasil membinasakan Pendawa secara praktis dan ekonomis.
”Sekarang bumi Ngastina mutlak jadi milik kita, Pendawa Lima sudah mampus,” kata Patih Sengkuni bangga.
”Terima kasih atas siasat dan kiat paman yang briliyan,” sanjung Duryudana.
Tapi di luar dugaan, hari berikutnya terdengar kabar bahwa Pendawa Lima tiba dengan selamat di negerinya kembali, justru kini mereka mengadu ke kahyangan Jonggring Salaka atas kejahatan Kurawa. Patih Sengkuni pun bingung kenapa kok mereka selamat dari sumur maut yang telah disulapnya jadi panggung itu?
Usut punya usut, nun jauh di bawah sana, pada kerak bumi lempengan Eurasia-Australia, lobang itu berhubungan langsung dengan Sumur Jalatunda di kahyangan Saptapratala. Itu kan sama saja memberi kesempatan Pendawa Lima dolan ke rumah mertua Bima sendiri, Hyang Antaboga.
”Memangnya dia bisa masuk, visanya nggak ditolak?” usut Patih Sengkuni.
”Mereka kan bukan wayang radikal, tentu saja welcome sajalah.” jawab Resi Bisma senior wayang Ngastina.
Kini Arya Burisrawa diusut, kenapa terjadi kesalahan teknis seperti itu. Apakah bestek sengaja dimanipulasi? Berdasarkan penyelidikan, memang banyak anggaran yang dikurangi, bahkan termasuk anggaran penyanyi campursari. Dia tak panggil artis-artis beken, tapi hanya penyanyi karaoke di tempat hiburan malam, termasuk Limbuk- Cangik. Alasannya kehabisan stok artis, semua dipakai untuk kegiatan malam Tahun Baru,
”Saya diminta teken kwitansi Rp 15 juta, padahal cuma terima Rp 5 juta,” kata Limbuk dan Cangik saat diperiksa Patih Sengkuni. Pantas. (Ki Guna Watoncarita)
