JAKARTA – Belum ada tanda-tanda konflik berdarah di Irak dan Suriah segera berakhir sehingga dikhawatirkan korban-korban terutama warga sipil dan anak-anak masih akan terus berjatuhan, walaupun kemungkinan terjadi perubahan konstelasi militer dalam beberapa hari ke depan ini.
Suara gelegar bom, roket atau rudal memang tidak terdengar di Aleppo (360 Km utara Damaskus) sejak pekan lalu setelah Rusia dan pasukan loyalis rezim pemerintah Bashar al-Ashad untuk sementara menghentikan serangan udara gabungan terhadap kelompok anti pemerintah yang bertahan di kota kedua terbesar di Suriah tersebut.
Rusia yang bersama Iran dan Laskar Hisbullah berada di belakang rezim Bashar al-Ashad menyatakan bahwa penghentian serangan udara terhadap Aleppo bertujuan memberi ruang gerak bagi warga sipil untuk meninggalkan kota dan membuka peluang bagi organisasi kemanusiaan untuk mengirimkan bantuan pada warga kota yang terperangkap.
Konflik berdarah di Suriah yang semula terjadi antara pengikut Presiden Bashar al-Ashad dan kubu oposisi yang menghendaki perubahan, melebar menjadi perang proxy di antara berbagai pihak yang berebut pengaruh di sekitar kawasan itu dan tidak terlepas dari rivalitas dua kekuatan dunia, Amerika Serikat dan Rusia.
Rusia, Iran dan Laskar Hisbullah mendukung rezim al-Ashad , sedangkan AS, Arab Saudi, Qatar dan Turki berpihak pada kelompok oposisi Suriah. AS menghendaki al-Ashad yang dianggap bagian dari konflik untuk lengser, sebaliknya Rusia ngotot mempertahankannya dengan alasan untuk mencegah kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau gerakan radikal lainnya masuk ke Suriah.
Rusia juga khawatir jika pangkalan angkatan laut satu-satunya di Timur Tengah yang ada di Tartus, Suriah, lepas jika rezim al-Ashad tumbang. Jika ini terjadi, aliansi jangka panjang yang sudah dibangun bersama Suriah guna mempertahankan posisi setrategisnya juga akan berakhir.
Bagi AS, selain untuk mengamankan pasokan minyak, keterlibatannya dalam konflik di Suriah juga untuk melindungi sekutu-sekutunya terutama Israel dan Arab Saudi serta untuk mempertahankan hegemoninya di kawasan Timur Tengah.
Keruwetan muncul karena Rusia yang biasanya berseberangan dengan AS , berada satu front dalam koalisi internasional untuk memerangi NIIS, walaupun ada tudingan bahwa di lapangan, Rusia mendua . Seperti yang dilaporkan Pemantau Hak Azasi Suriah (SOHR) baru-baru ini, serangan udara yang dilancarkan Rusia di wilayah Suriah lebih banyak menyasar posisi kelompok anti al-Ashad ketimbang ke basis-basis NIIS.
Sekitar 300.000 orang tewas di berbagai wilayah di Suriah sejak konflik berdarah yang sudah memasuki tahun kelima, sekitar lima juta mengungsi ke negara tetangga seperti Irak, Jordania, Lebanon, Mesir dan Turki serta ratusan tenggelam ketika berupaya menyeberangi lautan menuju daratan Eropa.
Sementara di Irak, pertempuran yang menentukan berlangsung di Mosul, kota kedua terbesar di Irak (250 Km arah selatan Baghdad) antara pasukan gabungan pemerintah dan laskar Peshmerga Kurdi, didukung oleh pasukan Turki, kontingen Amerika Serikat dan Perancis melawan pasukan NIIS.
Pasukan Irak dan Laskar Peshmerga berkekuatan 30.000 personil dilaporkan sedang bergerak untuk merebut kembali Mosul, kota terbesar kedua di Irak yang dikuasai NIIS dalam serangkaian serangan kilat pada Juni 2014. Dari Mosul, NIIS mendeklarasikan kekhalifahan Irak dan Suriah secara sepihak. Mosul juga menjadi basis terakhir NIIS di Irak setelah sebelumnya dipaksa hengkang dari kota Ramadi, Falujah dan Tikrit.
Kehadiran sekitar 50 tank dan 2.000 anggota pasukan Turki di Kamp Al-Bashiqa (12 Km dari Mosul dan 100 Km dari perbatasan Turki) sebenarnya tidak dikehendaki oleh Pemerintah Irak. Rezim Baghdad khawatir jika NIIS bisa diusir dari Mosul, pengaruh Turki lebih kuat di sana. Pemerintah Turki sendiri sudah mengindikasikan, mereka tidak akan tinggal diam jika keberadaan warga keturunan Turki (Turkman) di Mosul terancam jika kota tersebut kembali dikuasai Irak.
Yang paling mengkhawatirkan adalah jika sekitar 1,5 juta warga sipil yang terperangkap di tengah kota Mosul dimanfaatkan sebagai “tameng hidup” oleh NIIS. TV Al Jazeera melaporkan, pasukan NIIS malah memerintahkan warga pedesaan di sekitarnya untuk pindah ke kota Mosul dan menempati gedung-gedung yang kemungkinan akan menjadi target serangan udara.
Walaupun sekitar 8.000 anggota NIIS yang masih bertahan di Mosul sudah dikepung dari berbagai arah, belum bisa diprediksi apakah mereka akan melancarkan perang kota habis-habisan mempertahankan Mosul atau melarikan diri melalui perbatasan Suriah. Selain membakar pabrik kimia di kota sehingga membuat ribuan warga dilarikan ke rumahrumah sakit karena kesulitan bernafas, NIIS juga mencoba mengalihkan konsentrasi lawan dengan menyerang ke kota Kirkuk.
Misi dan kepentingan berbeda yang diusung oleh pihak-pihak yang bertikai, membuat perdamaian di Irak dan Suriah agaknya masih jauh “panggang dari api”. (Nanang Sunarto)