Perdamaian menjauh dari Ukraina

Asa perdamaian Perang Ukraina menjauh setelah AS menarik diri dari upaya mediasi (ilustrasi: BBC)

ASA terciptanya perdamaian menjauh setelah pemerintah Amerika Serikat secara resmi mengumumkan, tidak akan proaktif lagi memediasi perundingan damai antara Rusia dan Ukraina.

Konflik antara kedua negara sempalan Uni Soviet itu berawal dari invasi Rusia ke Ukraina 24 Februari 2022 dengan alasan kedaulatannya terancam setelah Ukraina mewacanakan akan bergabung ke dalam Aliansi   Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Jubir Deplu AS, Tammy Bruce, mengatakan kepada Euronews, Jumat (2/5) , tanggung jawab menyelesaikan konflik kini ada di tangan kedua pihak yang bertikai.

“Kami tidak akan terus-terusan terbang ke berbagai penjuru dunia hanya untuk memediasi pertemuan. Kini saatnya Rusia dan Ukraina menyusun dan menyampaikan gagasan nyata untuk mengakhiri konflik,” ujar Bruce.

Meski AS tetap berkomitmen mendukung perdamaian, Bruce menyebutkan, peran sebagai mediator utama tidak akan dimainkan lagi.

Langkah ini muncul setelah berbulan-bulan upaya mediasi AS, termasuk negosiasi gencatan senjata 30 hari dan pembicaraan dengan pejabat Rusia di Arab Saudi, gagal membuahkan hasil konkret.

Presiden AS Donald Trump juga semakin frustrasi karena belum ada kemajuan, padahal saat kampanye pilpres sebelumnya, ia sesumbar,  mengeklaim bisa mengakhiri perang “dalam satu hari” jika terpilih kembali.

Trump juga sempat mengatakan, jika tidak ada itikad baik dari salah satu pihak, AS akan mundur dan berhenti terlibat dalam negosiasi perdamaian Rusia-Ukraina.

Terus menyerang

Hingga saat ini, Rusia masih melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Ukraina, termasuk ke ibu kota, Kyiv, yang pada 24 April lalu, menewaskan sedikitnya 12 orang.

Serangan ini membuat Trump angkat suara dan menyerukan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menghentikan kekerasan.

“Vladimir, hentikan! 5.000 tentara meninggal setiap minggu. Yuk akhiri konflik inii,” tulis Trump melalui akun Truth Social.

Meski mundur dari peran mediasi, AS tetap menjalin kerja sama strategis dengan Ukraina dan baru-baru ini, kedua negara menandatangani kesepakatan kerja sama mineral penting, yang memungkinkan AS memberikan bantuan  peralatan militer, teknologi, dan pelatihan bagi Ukraina.

Deplu AS juga telah menyetujui penjualan alutsista  senilai 50 juta dollar AS (sekitar Rp 823 miliar) ke Ukraina.

Selain mendukung Ukraina melalui bantuan militer, AS juga telah menyiapkan sanksi ekonomi baru untuk Rusia, a.l menyasar perusahaan energi milik negara, Gazprom, dan sejumlah perusahaan besar di sektor sumber daya alam dan perbankan.

Namun, sanksi baru yang telah disiapkan tersebut sejauh ini masih menunggu persetujuan dari Presiden Trump.

Kesediaan Ukraina

Sementara itu, Presiden AS Trump, dan sejumlah negosiatornya berpendangan,  satu-satunya cara untuk mengakhiri perang adalah adanya jaminan dari Ukraina, tidak akan merebut kembali wilayah yang diduduki Rusia sejak invasi.

Namun, hasil jajak pendapat yang dirilis eksklusif oleh Reuters menunjukkan, mayoritas warga Ukraina tidak bersedia menyerahkan wilayah mereka sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata, meskipun perang sudah berlangsung lebih dari tiga tahun.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, yang agaknya akan nyapres kembali dalam pilpres mendatang, menolak tekanan dari pihak-pihak luar, termasuk Trump untuk memaksakan penyerahan sebagian wilayahnya.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Gradus Research menunjukkan, hampir tiga perempat penduduk Ukraina tidak melihat konsesi teritorial sebagai solusi yang tepat untuk mengakhiri perang.

“Sebagian besar responden meyakini bahwa tujuan utama Rusia dalam perang ini adalah untuk menguasai sepenuhnya negara kita,” ujar Gradus dalam catatannya.

“Konsesi teritorial Ukraina tidak merupakan sebagai kompromi yang sah. Sebaliknya, hal ini justru dapat memperkuat agresi Rusia,” imbuh dia.

Rusia sendiri membantah tudingan, berusaha menguasai Ukraina, namun, pasukan Rusia sempat bergerak menuju Kyiv pada awal invasi 2022, sebelum akhirnya mundur setelah pasukan Ukraina memberikan perlawanan sengit.

Kuasai seperlima wilayah Ukraina

Hingga saat ini, Rusia menguasai sekitar 20 persen wilayah Ukraina, termasuk Krimea yang direbut dan dianeksasi pada 2014, serta sebagian besar wilayah di Ukraina timur dan tenggara.

Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan minggu ini, sekitar 40 persen responden percaya bahwa perdamaian yang diperoleh melalui konsesi wilayah hanya akan bersifat sementara dan tidak bertahan lama.

Sementara itu, 31 persen lainnya berpendapat bahwa konsesi sama sekali tidak akan menghasilkan perdamaian.

Di kalangan sejumlah sekutu Ukraina di Eropa dan warga Ukraina yang berbicara secara pribadi, ada pandangan Ukraina harus mengakui kehilangan sebagian wilayahnya jika ingin mengakhiri perang ini.

Mereka menilai, Ukraina kelelahan dalam menghadapi musuh yang lebih besar dan lebih kuat, sementara bantuan militer dari negara-negara Barat belum cukup untuk mencapai kemenangan yang menentukan.

Zelensky sendiri mengakui, Ukraina tidak dapat merebut kembali wilayahnya melalui kekuatan militer. Namun, ia juga menekankan, menyerahkan tanah secara resmi bertentangan dengan konstitusi negara tersebut.

Data Institut Sosiologi Internasional Kyiv (KIIS) menunjukkan, meski dukungan terhadap konsesi teritorial meningkat selama berlangsungnya perang, mayoritas warga Ukraina masih menolak gagasan itu. (Euronews/kompas.com/ns)

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here