PEMERINTAH mengancam sanksi pidana bagi orang tua yang coba-coba memalsukan dokumen kependudukan (Kartu Keluarga, Akta Kelahiran) untuk memenuhi persyaratan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
“Verifikasi terkait kelengkapan dan memastikan keaslian dokumen kami sarankan untuk dicek ulang melalui aplikasi QR Code, “ ujar Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Teguh Setyabudhi di Jakarta, Selasa (25/6).
Sebagian orang tua atau wali murid mengakali dokumen kependudukan untuk mengatasi sistem zonasi yang diberlakukan dalam PPDB (jarak dari rumah ke sekolah terjauh 1,36 Km dan terdekat 61meter) melalui usaha layanan jasa edit dokumen.
Pengeditan dokumen seperti KK, KTP, akta lahir dan izasah ditawarkan secara daring melalui medsos dengan tarif ekitar Rp100-ribu per dokumen dan selesai dalam hitungan menit, lalu hasilnya dikirim melalui aplikasi whatsapp.
Pemalsuan dokumen kependudukan untuk mengakali seleksi PPDB adalah tindak pidana karena melanggar Pasal 94 UU No. 24 tentang administrasi kependudukan dengan ancaman hukuman kurungan paling lama enam tahun atau denda Rp75 juta.
Selain melalui jalur zonasi yakni jarak antara rumah dan sekolah dalam sistem PPDB, ada jalur afirmasi (misalnya untuk warga miskin dan penyandang disabilitas , pindah tugas orang tua/wali serta lewat jalur prestasi).
Dokumen-dokumen yang dipersyaratkan untuk PPDB, misalnya surat keterangan tidak mampu, surat alih tugas orang tua dan nilai rapor konon juga bisa dipesan di layanan jasa edit dokumen.
Selain keempat jalur tersebut, masih ada yang disebut “jalur siluman” yakni penerimaan siswa baru atas “pesanan atau permintaan ” oknum-oknum pejabat, anggota parlemen, pesohor, orang-orang berduit, bahkan wartawan di luar jalur PPDB.
Para kepala sekolah, terutama di daerah tentu tidak puya nyali menolak atasannya, misalnya oknum kepala dinas, apalagi dinas pendidikan di wilayahnya yang memiliki relasi kuasa, wakil-wakil rakyat bahkan wartawan.
Pengaturan jumlah siswa
Dalam permendikbud No. 47/2023 tentang standar pengelolaan pendidikan (mulai dari Pendidikan Usia Dini sampai Menengah), misalnya untuk SMA, ditetapkan maks. 36 siswa per kelas atau rombongan belajar (rombel) dan jumlah maks. siswa 1.296 orang.
Peraturan itu faktanya cuma di atas kertas. Contohnya seperti dilaporkan Kompas (25/06) di SMA 3 Batam, semula dilaporkan Rencana Daya Tampung (RDT) siswa 2024 oleh Kepsek sebanyak 432 orang untuk 12 kelas (rombel), tiap kelas memuat 36 siswa.
Berbeda dengan yang dilaporkan semula, dalam Daftar Pendidikan Pokok (Dapodik) di situs Kemendikbudristek di SMA 3 tercatat 1.269 siswa, terdiri dari 40 kelas (rombel) untuk tiga angkatan.
SMA 3 Batam tahun ini menampung total 563 siswa terdiri dari 15 rombel, rata-rata 44 siswa per kelas (rombel) per angkatan, melebihi jumlah siswa rencana awal yakni 432 siswa terdiri dari 12 rombel, 36 siswa tiap rombel atau kelas.
Selain, penambahan daya tampung sekolah perlu dilakukan penyetaraan mutu sekolah negeri agar calon siswa tidak berebut sekolah favorit, mengingat banyak di antaranya yang sudah diterima di sekolah lain, tetap mendaftar lagi ke sekolah pilihannya.
Terkait pelanggaran dokumen kependudukan (palsu) atau melalui jalur siluman, sejauh ini tidak ada sanksi yang dikenakan, semua berjalan baik-baik saja (business as usual) terhadap para pelaku yakni para elite seperti politisi, birokrat atau kaum berduit.
Tanpa pembenahan serius, pemerataan pendidikan “jauh panggang dari api”, sekedar retorika, tertutup bagi si miskin yang berprestasi, sebaliknya hanya dinikmati anak-anak para politisi, petinggi birokrasi dan pengusaha serta termasuk yang berduit dari hasil korupsi.
Menyongsong era mas pada 2045, pembenahan dan peningkatan kualitas pendidikan suatu keniscayaan.