Carut-Marut hukum kasus kematian Vina

0
146
Kasus kematian tragis Vina dan pacarnya, Moh. Rizki pada Agustus 2016 diduga akibat penganiayaan makin ruwet karena agaknya terjadi berbagai penyimpangan prosedur penanganannya sejak awal.

TIDAK lebai agaknya jika sebagian publik menjuluki proses hukum yang sedang berlangsung terkait kematian Vina dan Rizki pada 27 Agustus 2016  sebagai  “peradilan sesat” yang penuh kebohongan dan rekayasa.

Dalam perkembanga terakhir, kuasa hukum termohon Polda Jawa Barat mangkir dalam sidang perdana gugatan praperadilan yang diajukan oleh tersangka pembunuhan Vina, Pegi Setiawan sehingga sidang ditunda oleh hakim tunggal PN Bandung.

Sidang perdana praperadilan yang digelar, Senin (24/6) ditunda seminggu dan dijadualkan ulang  pada 1 Juli, sementara Humas PN Bandung Dalyusra mengaku, pihaknya sudah melayangkan surat panggilan pada Polda Jabar, 21 Juni.

“Surat panggilan sudah disampaikan. Saya tidak tahu alasan tidak hadir,” ujarnya dan menambahkan, jika pekan depan absen lagi, perkara lanjut terus,” kata Dalyusra.

Absennya kuasa hukum Polda Jabar dalam sidang perdana praperadilan memicu pertanyaan, mengingat acara tersebut sudah dijadwalkan jauh-jauh hari. Jika terpaksa ditunda, sepantasnya disampaikan sebelumnya.

Kuasa hukum Pegi, Sugianti mengaku kecewa atas ulah termohon, Polda Jabar yang terkesan tidak profesional, sebaliknya Kabid Humas Polda Jabar Kombes Jules Abraham Abast berkilah, pihaknya memiliki agenda lain yang tak bisa ditinggalkan.

“Kami menganggap mereka tidak profesional, kalau buktinya memang lemah, ya diakui saja. Jangan sampai menggunakan alasan klasik, sengaja menunda persidangan yang akhirnya untuk menuju P21 (berkas lengkap dan persidangan bisa berlanjut).

“Kami di sini hanya ingin membuktikan bahwa penetapan Pegi tidak sah, kenapa kuasa hukum Polda tidak hadir?” katanya.

Sebelumnya, kuasa hukum Pegi, Marwan Iswandi mengajukan gugatan praperadilan lantaran tidak terima atas tindakan Polda Jabar yang menetapkan Pegi sebagai tersangka pembunuhan Vina, karena bukti yang ditampilkan lemah.Puluhan pengacara juga ikut membela Pegi, juga relawan dan para saksi yang bermunculan.

“Bukti polisi adalah ijazah sama KTP. Apa hubungan perkara ini sama ijazah dan KTP?. ini kan kasus pembunuhan,” kata Marwan saat dihubungi, Rabu (12/6).

Desakan publik dan film

Kasus kematian Vina dan Rizki delapan tahun lalu dibuka lagi akibat desakan publik dan kasusnya diangkat di layar lebar dalam film bergenre horor “Seminggu setelah kepergian Vina” yang dalam sepekan saja ditonton 5,8 juta orang.

Sementara keluarga Supriyanto, salah satu terpidana kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita (16) dan M. Rizky atau Eki (16) di  pada 2016 lalu, melapor ke Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta.

Kakak Supriyanto, Aminah didampingi kuasa hukumnya, Roelly Panggabean melaporkan ketua RT002/RW10 Kel. Karyamulya, Kec. Kosambi, Kota Cirebon, Abdul Pasren atas dugaan memberikan keterangan palsu.

Pasren juga dilaporkan melanggar Pasal 242 KUHP terkait pemberian keterangan palsu di bawah sumpah oleh Aminah yang juga mewakili pihak keluarga terpidana Eko Ramdhani, Hadi Saputra, Jaya, Sudirman, dan Eka Sandi yang juga ikut hadir ke Bareskrim.

Menurut Aminah, Pasren menuduh pihak keluarga pelaku mendatangi rumahnya untuk memberikan iming-iming uang sebagai imbalan untuk berkata bohong saat menjadi saksi kasus itu.

“Yang saya laporkan, pengakuan pak RT yang menyebutkan, keluarga memberikan iming-iming uang, bilangnya disuruh berkata bohong alias mengarang cerita,” kata Aminah seraya menambahkan, mereka datang justeru untuk meminta Pasren berkata jujur.

Pasren menyebutkan, lima terpidana (Rko Ramdani, Hadi, Jaya, Supriyanto dan Eka Sandi yang merupakan rekan anaknya, pada malam kejadian pembunuhan Vina dan Fikri tidak tidur di rumah kosong di samping rumahnya yang juga miliknya.

Keterangan Pasren bertentangan dengan pengakuan kelimanya pada kuasa hukum mereka sehingga jika benar, menambah keruwetan perkara, karena berarti polisi salah tangkap.

Kontroversi sejak awal

Penanganan kasus kematian Vina dan Rizki memang kontroversi sejak awal mulai              dari keterangan polantas Polres Cirebon yang menyebutkan, kematian keduanya akibat kecelakaan tunggal, padahal sepeda motor korban tidak rusak, begitu pula helm yang dikenakan. Agaknya janggal, anggota polisi tidak bisa membedakan antara korban lakalantas dan kekerasan.

Tidak diketahui persoalan internal polisi di level Polresta Cirebon saat itu, kenapa Iptu Rudiana, notabene ayah Rizki (korban), yang menjabat Kanit Narkoba menangani langsung dan membuat BAP kasus anaknya?

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sendiri, menurut Kadiv Humas Plri Irjen Sandi Nugroho,  mengakui ada anggotanya yang kurang teliti ketika mengusut kasus pembunuhan Vina Dewi (16) dan Muhammad Rizky (16) atau Eki.

Terkait kasus ini, Sandi menjelaskan, pihak kepolisian awalnya menerima laporan bahwa Vina dan Eki tewas akibat kecelakaan lalu lintas (laka lantas).

“Saat ada korban,  anggota seharusnya menjalanlan SOP (apakah akibat bunuh diri, dibunuh atau lakalantas biasa). Petugas kurang teliti di lapangan sehingga melihat ini adalah sebagai laka lantas biasa,” kata Sandi di Mabes Polri, Jakarta, (21/6) .

Kejanggalan lainnya disampaikan psikolog forensik Reza Indragiri mengetahui soal hasil visum Vina dan Eki ditulis karena mati tidak wajar setelah membaca berkas visum et repertum yang dilaksanakan dua dokter umum dan satu dokter forensik.

Namun, penyebab kematian biasanya dapat dikatagorikan dalam katagori natural, accident (kecelakaan), suicide (bunuh diri), dan pembunuhan.

“Di dalam  berkas yang saya baca, kesimpulan akhirnya hanya tertulis,  kematian tidak wajar, tetapi tidak dijelaskan akibat kecelakaan kah, bunuh diri atau perbuatan orang lain. Tidak ada,” kata Reza dalam program Satu Meja Kompas TV (20/6).

Hasil visum terkait kematian Vina dan Rizki yang diungkap oleh Irjen Sandi Nugroho juga berbeda dengan yang tertulis pada keputusan Mahkamah Agung.

Selian menilai, perlakuan pelaku tehadap Vina dan Rizki sadis dan sangat kejam, Irjen Sandi membacakan visum versi kepolisian a.l.  luka tusuk di sekujur tubuh kedua korban, leher, rahang bawah dan atas patah.

Visum versi putusan MA

Sementara visum dari hasil ekshumasi (pembongkaran makam) 17hari setelah kejadian (17 Sept. 2016) yang dibacakan pada putusan MA,  berbeda dengan visum sebelumnya versi polisi.

Dari jasad Rizki  yang sudah membusuk, terdapat tanda trauma tumpul di kepala yakni patah tulang penutup tengkorak depan dan belakang, patah tulang dasar tengkorak serta patah tulang rahang atas dan bawah.

Trauma tumpul berupa patah tulang lengan, tulang hasta kanan dan tulang pengumpil (smeua kanan), luka terbuka dahi kiri, mata kaki kanan dalam, tungkai bawah kiri, lecet pada mata kaki kiri hingga punggung kaki kiri serta resapan darah pada kulit dada.

Seentara dari jasad Vina yang juga sudah membusuk, ada tanda trauma tumpul kepala berupa patah atulang tutup tengkorak atas, tulang rawan bawah kanan, luka terbuka di tungkai bawah kanan, patah tulang paha kanan dan tulang kering kanan.

Ada tanda-tanda trauma tajam berupa luka pipi kanan dan punggung tangan kiri, trauma tumpul berupa lecet pada perut dan paha kiri dan ditemukan sperma pada alat reproduksi korban.

Kontroversi terkait proses hukum kasus kematian Vina dan Rizki berkembang menjadi bola liar dan simpang siur karena seluruh terpidana dan saksi mencabut kesaksian mereka.

Selain kesalahan prosedur penanganan kasus oleh personil tak berwenang (Iptu Rudiana), motif penetapan kematian korban akibat lakalantas, tuduhan penghapusan unggahan WA Pegi Setiawan yang membuktikan ia tidak di TKP saat kejadian dan penghilangan dua nama tersangka yang buron, jika terungkap dalam persidangan nanti, diharapkan bisa mengurai benang kusut perkara ini.

Ayo usut tuntas demi tegaknya  keadilan dan mengembalikan citra Polri!

 

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here