Prabowo Nagih Janji (5)

0
452
Dewi Erawati menyindir Prabu Baladewa; rajin sowanan ke Ngastina, padahal uang bensinnya juga kecil.

SEBAGAI natagung (raja) Mandura, Prabu Baladewa ini ternyata lumayan gaptek juga. Untuk membeli HP android yang canggih, tentu lebih dari mampu. Tetapi beliaunya  memilih menggunakan HP jadul Nokia 3310 kosong yang hanya bisa untuk telepon dan SMS. Karenanya HP ayah Wisatha ini kalah canggih oleh HP-nya budayawan & pemikir Islam Cak Nun, di mana HP-nya bisa masak dan kentut, merk-nya adalah Nokia Kolopaking!

Di samping gaptek, Prabu Baladewa hanya memiliki HP jadul sebagaimana milik Mentri PUPR Basuki Hadimulyono, juga karena kesengajaan. Pakai HP canggih dikhawatirkan jadi ribet karena harus melayani telpon pihak-pihak yang minta fasilitas dan kemudahan proyek. Dengan HP jadul kan mereka kesulitan menghubunginya, sebab di HP Prabu Baladewa hanya muncul kata: pesan tidak bisa ditampilkan. Nah, gara-gara tak punya HP android, undangan perkawinan para relasi melalui WA tak pernah nyampai. Selamatlah anggaran untuk nyumbang ini itu.

“Lho, rama Baladewa nggak ikut sidang di Gajahoya untuk membahas isyu Perang Baratayuda?” ujar Wisatha bertanya sekaligus melaporkan berita yang diterimanya lewat medsos.

“Biar saja. Mereka pasti tak mau mengundang saya, sebab tahu saya bukan pendukung Kurawa. Saya datang malah dianggap jadi mata-mata. Kita memang beda darah….” Jawab Prabu Baladewa santai saja.

“Oo, darah rama bukan O ya, sehingga tak bisa diterima siapa saja?”

“Ini darah dalam arti keturunan, goblok! Bukan darah yang bisa dibikin saren (darah goreng).” Omel Prabu Baladewa sambil gebrak meja, mirip Capres Prabowo dari KIM (Koalisi Indonesia Maju).

Kena omel sang ayah, Wisatha langsung pergi entah ke mana. Tapi di saat yang sama muncul Dewi Erawati menemui suaminya. Wajahnya njegadul (cemberut) sepertinya tengah menyimpan kekecewaan berat pada Prabu Baladewa. Orangtua cap apapun kerja mati-matian kan demi membahagiakan anak. Sedangkan yang terjadi pada Prabu Baladewa, justru menyia-nyiakan anak. Aset dinasti hendak dihibahkan ke orang lain.

Konstitusi negara mau diubah secara sepihak hanya karena sentimen pribadi. Lalu anak sendiri mau dijadikan apa? Jika Wisatha punya saudara, bisa suksesi dipindahkan ke adiknya. Itupun harus karena si kakak berhalangan tetap sebagaimana negeri Ngastina sendiri. Mestinya dari Prabu Abiyasa jatuh pada  Dhestarata, berhubungan si anak sulung ini buta, akhirnya tahta diwariskan ke Pandu. Ini baru bener!

“Saya lihat cuaca di wajahmu kok seperti DKI Jakarta, buruk sekali. Kenapa diajeng Erawati?” sapa Prabu Baladewa.

“Nggak papa, Sinuwun. Cuma istrimu ini mau tanya, sejak kapan jabatan pangeran mangkubumi bisa dilelang seperti jabatan di DKI Jakarta era Gubernur Jokowi?” kata Dewi Erawati masih cemberut.

Prabu Baladewa baru dhong (paham) apa masalahnya. Beliaunya lalu tersenyum dan mengatakan bahwa Wisatha baru saja habis diomeli, gara-gara tingkat keilmuannya yang begitu dangkal. Kebanyakan hura-hura jadi lupa ngangsu kawruh mersudeng ngelmu (banyak menuntut ilmu). Masak anak raja, tapi tidak paham apa itu istilah “darah”, tahunya hanya golongan darah A, B dan O.

Padahal calon pemimpin itu harus banyak ilmu, punya gagasan besar bagi negaranya dan mampu mewujudkannnya. Sedangkan Wisatha ini apa? Mempersiapkan masa depan pribadinya saja tidak becus, apa lagi mempersiapkan masa depan negeri Mandura di 2045 nanti. Terus terang, Prabu Baladewa pesimis keberlanjutan proyek Kuntiboja Pura di tangan Wisatha.

“Diajeng juga sih, anak terlalu dimanjakan. Jadinya begini, pikirannya tak bisa berkembang. Tak punya inisiatip, semua menunggu perintah dan petunjuk bapak presiden, eh…..raja ding!” kata Prabu Baladewa menyalahkan sang istri.

“Sinuwun sendiri memangnya mikir anak? Tiap hari sibuk ikut sowanan di Ngastina, padahal uang bensinnya tak seberapa. Ngurusin negara orang lain, padahal negara sendiri nggak dipikirkan. Anak menjadi salah didik tidak sadar, dan lihat sekarang Wisatha jadi anak kurag ajar!” gantian Dewi Erawati menyalahkan suaminya.

Ujung-ujungnya Dewi Erawati buka kartu bahwa Wisatha ngambek karena dengar kabar bahwa suksesi kerajaan Mandura ditawarkan kepada kedua patihnya. Ini Wisatha tidak rela. Itu kan haknya, kenapa dijajakan pada pihak lain. Enak dong patih Prabowo dan Pragota, bukan trah Mandura tapi dapat kesempatan memperebutkan tahta Mandura. Kata Dewi Erawati kini Wisatha tak mau makan nasi, tapi ke warung kethoprak jalan terus.

Mumpung sebelum terlanjur terjadi suksesi di Mandura kepada salah satu patih, kata Erawati mending dibatalkan saja kebijakan yang menyalahi pakem tersebut. Tapi ternyata Prabu Baladewa bergeming, tak mau membatalkan kebijakan itu. Sabda pandita ratu. Malu katanya bila nanti malah jadi bahan tertawaan kawula Mandura. Ada raja kok mencla-mencle, ucapannya tak bisa dipegang, esuk dele sore tempe, malam hari mendoan!

“Jika nanti Wisatha frustasi dan nggantung diri di pohon, kita bisa menyesal 7 turunan lho Sinuwun.” Desak Dewi Erawati.

“Halah, Wisatha mana berani bunuh diri. Paling-paling gantung diri di pohon ciplukan.” Kata Prabu Baladewa angin-anginan.

Dewi Erawati undur diri masih dengan penuh rasa masgul. Terbukti saat keluar masih sempat banting pintu, jederrr! Jika dibikin konten TikTok seru juga kayaknya. Dan ternyata, meski dialog suami istri yang menemui jalan buntu itu terbebas dari liputan pers, tak sampai satu jam berikutnya sudah masuk berita media online, meski isinya spekulatif. Ada yang bikin judul: Dewi Erawati merapat ke Istana, suksesi di Mandura terganjal?

Ada juga media yang bikin judul bombastis: Ini hasil pembicaraan Prabu Baladewa – Dewi Erawati. Padahal ketika dibaca seluruhnya sampai habis, tak ada sama yang menyebutkan isi pembicaraan suami istri tersebut. Tapi begitulah gaya jurnalis masa kini. Banyak yang bikin judul asal-asalan, yang penting diklick warganet. Makanya tak mengherankan kepercayaan masyarakat pada pers tinggal 40 persen. (Ki Guna Watoncarita)

Advertisement div class="td-visible-desktop">