Presiden, kunci pemberantasan korupsi

0
165
Selain dilemahkan oleh revisi UU KPK, sejumlah pimpinannya juga terjerat pelanggaran etika seperti Wakil Ketua KPK: Nurul Ghufron (foto) dan Lily Pintauli Siregar dan Ketua KPK Firli Bahuri.

PEMBERANTASAN korupsi tidak mungkin diharapkan pada KPK saja, karena kuncinya ada di tangan presiden yang mengendalikan dan mengolaborasikan segenap instrumen kekuasaan.

“Kunci pemberantasan korupsi itu supaya berhasil, ada di presiden. Makanya saya bilang, omong kosong berharap pada KPK kalau tidak ada political will (dari presiden-red),” ujar Wakil Ketua K/200PK Alexander Marwata di Jakarta (7/9)..

Untuk itu ia berharap dan berdoa agar presiden di masa mendatang berkomitmen memberantas korupsi. “Karena apa? Yang bisa mengorkestrasi semuanya hanya presiden,” tutur Alex.

Alex mengatakan, di tengah kondisi seperti saat ini, siapa pun orang yang menjadi pimpinan KPK dan betapa pun ia sangat independen, ia tetap tidak berhasil.

Alasannya, karena tidak terlepas dari faktor pembagian kewenangan memberantas korupsi terhadap tiga lembaga, yakni KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri yang sangat berbeda dari Hong Kong dan Singapura yang hanya memberikan kewenangan memberantas korupsi pada satu lembaga.

“Kalau kita sekarang enggak,” tutur Alex.

Menurut catatan, KPK yang menjadi tumpuan harapan publik untuk membasmi pratek korupsi yang sudah merasuki segenap sendi kehidupan bangsa dan negara saat dibentuk pada 2003 melemah setelah  UU KPK No. 30 Tahun 2003 direvisi menjadi UU No. 19 tahun 2019.

Ironisnya, seluruh fraksi di DPR sepakat merevisi UU KPK tersebut yang 26  pasalnya memuat pelemahan KPK, seperti penampatan  lembaga antirasuah itu dalam rumpun ASN, pelucutan kewenangan dalam penyidikan dan penuntutan, keberadaan Dewan Pengawas dan sejumlah prosedur yang merumitkan penindakan.

Presiden Jkowi yang sejatinya memiliki hak prerogatif  mengeluarkan Perppu paling tidak untuk menunda pemberlakuan UU yang direvisi itu juga tidak berbat apa-apa.

ICW juga melaporkan adanya sejumlah isu yang disorot dan menjadi wujud pelemahan KPK. Pada diskusi tersebut, ICW memaparkan laporan penilaian atas kinerja KPK 2019-2024 yang sangat dipengaruhi Revisi UU KPK seperti independensi pegawai, kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan kualitas penuntutan yang merosot.

Pimpinan langgar etika

Selain disebabkan pelemahan akibat revisi UU KPK, sejumlah pimpinannya juga terlibat pelenggaran etik,  yang sekarang lagi ramai menyangkut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang dinyatakan melanggar etik oleh Dewas KPK karena dinyatakan terbukti melanggar etik karena melakukan intervensi atas mutasi pegawai Kementerian Pertanian.

Ia dinyatakan melanggar Pasal 4 Ayat (2) huruf b Peraturan Dewan Pengawas (Perdewas) KPK Nomor 3 Tahun 2021.

Sanksi yang diberikan pada Ghufron menambah daftar pimpinan KPK periode 2019-2023 yang melakukan pelanggaran etik.

Sebelumnya, persoalan etik juga menjerat Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar karena terbukti menerima gratifikasi dan menyalahgunakan wewenang, menemui pihak yang sedang berperkara.

Sementara Ketua KPK Firli Bahuri dinyatakan dinyatakan melakukan pelanggaran etik dan mendapatkan sanksi ringan berupa teguran tertulis karena menunjukan gaya hidup mewah pada Sept. 2023.

Melemahnya greget pemberantasan korupsi juga tercermin dari anjloknya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dilaporkan Transparency International (TI) dari 38 pada 2022 menjadi 34 pada 2023 dan 2024, sedangkan peringkatnya juga turun dari 110 ke 115 dati 180 negara yang disurvei.

Pemberantasa koupsi di negeri ini kembali ke titik nadir, sehingga berharap janji Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mengejar koruptor sampai ke Antartika tidak sekedar pengharapan palsu. Publik menanti!

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here