Puasa Lintas Agama

0
80
Yudi Latif

Saudaraku, sekalipun agama itu berbeda-beda, namun perjumpaan antaragama bisa saling memengaruhi, melahirkan proses saling meminjam dalam khasanah simbolik serta titik temu dalam esensi, yang membentuk endapan tumpang-tindih tradisi bersama.

Umat Islam di Indonesia lebih galib menggunakan istilah “puasa” ketimbang “shaum”. Istilah puasa lebih dulu dikenal dalam khasanah Buddha-Hindu. Boleh jadi berasal dari bahasa Pali, yang merupakan kombinasi dari kata “pu” (menyucikan diri), dan “wasa”/”vassa” (menyendiri/meditatif). Mungkin juga berasal dari bahasa Sanskerta, yang merupakan kombinasi dari kata “apu” (mendekatkan diri) dan “wasa” (Tuhan).

Alhasil, dalam tradisi lintas-agama, ibadah puasa merupakan praktik penyucian dan pendekatan diri dengan kosmos Ilahi melalui pengosongan diri (kenosis) dari kekenyangan, kejumudan dan kerakusan. Situasi kenosis merupakan pangkal pemulihan adikrisis dengan membawa manusia ke titik fitrah demi memperkuat basis spiritualitas untuk menyegarkan dan menyalakan kembali energi kehidupan.

Dengan mengendalikan diri dari gravitasi syahwat bumi, roh manusia bisa mikraj ke langit tertinggi. Dengan melesat ke langit suci, mental manusia terbang dari kesadaran personal menuju transpersonal; dari kesadaran keseharian menuju kesadaran terluhur; dari perbudakan nafsu menuju emansipasi insani.

Dari momen transendensi yang meluruhkan sekaligus memperkuat diri, berturut-turut diharapkan bisa terengkuh pengetahuan/visi baru, ketegaran asketik, kemampuan empati, kelapangan altruistik, dan akhirnya kesadaran bahwa semua adalah satu. Jika rasa sensibilitas dan sosiabilitas itu telah tertanam, kehidupan etis bisa terbangun, keadilan sosial bisa tercapai, harmoni di bumi bisa terwujud.

Demikianlah, manusia memerlukan jeda pengosongan, penyegaran, pengasoan. Sela puasa menjadi momen hibernasi untuk memulihkan kesehatan jasmani-rohani. Seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur bisa memupuk rerumputan di bawah dan sekelilingnya. Sesekali kita pun perlu meranggas; membiarkan keakuan terbakar, tersungkur sujud; menginsafi kefanaan yang menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang lain.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here