PROYEK pengadaan e-KTP yang digarap sejak 2011 alih-alih rampung dan menjadi kartu identitas satu-satunya bagi warga negara Indonesia sebagai persaratan untuk mengurus berbagai layanan publik, malah sampai kini terus menuai gaduh akibat berbagai persoalan.
Di ranah pengadilan, sejumlah nama beken termasuk mantan Mendagri Gamawan Fauzi ikut terseret-seret, sedangkan mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Irman dan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Sugiharto sudah divonis atas keterlibatan mereka dalam korupsi berjamaah yang merugikan negara sekitar Rp2,3 triliun tersebut.
Sejumlah kalangan di parlemen termasuk mantan Ketua DPR Setya Novanto, Nazarudin, Markus Nari, Anang Sugiana dan Miryam S. Haryani sudah divonis, dan masih banyak lagi yang diduga terlibat, sehingga diperkirakan kasus ini belum akan tuntas hingga Pemilu April 2019.
Hasil jajak pendapat harian Kompas yang digelar 12-13 Desember lalu melibatkan 541 responden di 17 kota besar (Kompas, 17/12) mengungkapkan, 48,2 persen responden yakin pemerintah dapat menuntaskan kasus e-KTP sebelum Pemilu 2019, namun yang tidak yakin juga cukup besar jumlahnya (44,2 persen).
Sebanyak 29,8 persen responden mengaku pernah mendengar praktek jual beli blanko e-KTP, 68,6 persen belum pernah mendengarnya, bahkan lebih separuhnya (54,9 persen) mengaku pernah mendengar, e-KTP digunakan untuk korupsi, pencucian uang dan penipuan, sedangkan 42,1 persen belum pernah mendengarnya.
Selain heboh terkait bancakan korupsi proyek e-KTP, berbagai kejanggalan juga terjadi dengan ditemukannya ribuan lembar karu e-KTP lawas (daluwarsa) yang tidak diketahui motif pelaku membuangnya.
Kejadian terakhir, penemuan 2.000 lembar e-KTP (sebagian daluwarsa dan sebagian lagi akan daluwarsa) di persawahan di Pondok Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur pekan lalu (8/12), dua dus e-KTP lawas yang tercecer saat diangkut dengan truk menuju gudang di Bogor (Mei lalu) dan di beberapa tempat lain, 36 lembar e-KTP palsu asal Kamboja yang disita petugas (Februari lalu).
Hampir seluruh responden (95,7 persen) sudah memiliki e-KTP, menunjukkan pentingnya kartu identitas tunggal itu untuk mengurus berbagai layanan publik seperti membuka rekening bank, membuat kartu keluarga, SIM, mengurus kartu BPJS, membeli tiket KA atau pesawat serta melamar pekerjaan.
Menjelang Pilpres dan Pilkada serentak yang akan digelar 17 April 2019, lebih separuh (51,9 persen) responden mengaku telah mengecek dan mengaku nama mereka tertera di Daftar Pemilih Tetap (DPT), namun 44, 5 persen belum mengeceknya.
E-KTP jelas dibutuhkan oleh seluruh WNI, baik sebagai penanda identitas tunggal, juga sebagai dokumen administrasi sebagai prasyarat mendapatkan berbagai layanan umum dan digunakan dalam tugas pengawasan oleh aparat negara.
Jika dipalsukan atau orang memiliki KTP lebih dari satu, tentu bisa dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan menyimpang termasuk dalam aksi kriminalitas.
Usut tuntas seluruh persoalan terkait e-KTP! (Kompas, NS)