Ramadan di Jalur Gaza: Keteguhan Iman di Tengah Kelaparan dan Kehancuran

0
96
Ilustrasi: Dampak serangan Israel di Jalur Gaza. (Foto: ANTARA/Anadolu)

GAZA – Warga Palestina di Jalur Gaza menyambut bulan Ramadan dalam kondisi penuh penderitaan akibat perang yang telah berlangsung selama 16 bulan tanpa henti. Wilayah yang dulunya ramai dengan kegiatan keagamaan dan perayaan kini berubah menjadi puing-puing.

Sebelum perang, suara azan menggema di jalanan, pasar-pasar dipenuhi lampu hias, dan anak-anak melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Namun kini, suara tangisan dan reruntuhan bangunan menggantikan suasana Ramadan yang penuh kegembiraan.

Meskipun hidup dalam keterbatasan, warga Gaza tetap berusaha mempertahankan tradisi Ramadan. Lentera-lentera tetap digantung, dan dinding-dinding yang hancur dihiasi dengan mural penuh warna sebagai simbol harapan.

“Kami menciptakan kehidupan dari warna-warna,” kata seorang pemuda yang menghiasi jalan-jalan, kepada Anadolu.

Seorang pemuda Gaza menegaskan bahwa mereka akan terus mencintai kehidupan dan menyambut Ramadan dengan harapan akan kedamaian.

Di Khan Younis, seorang pedagang kue khas Ramadan, Qatayef, mengungkapkan kesedihan karena tahun ini tidak ada perayaan seperti sebelumnya.

“Suasana tahun ini adalah yang tersulit yang pernah kami alami,” katanya.

Jika dulu jalanan dipenuhi dengan suara genderang dan dekorasi, kini suasana duka dan kehilangan mendominasi. Banyak keluarga berduka atas kehilangan orang-orang terkasih mereka akibat perang yang tak kunjung usai.

“Tidak ada kegembiraan, tidak ada perayaan. Pada tahun-tahun sebelumnya, genderang akan bergema di jalan-jalan, dekorasi digantung, dan kebahagiaan akan terasa. Tetapi hari ini, semuanya berbeda.”

“Ini adalah tahun tersulit yang pernah kami lalui. Orang-orang telah bangkit dari bawah reruntuhan rumah mereka yang hancur, berduka atas kehilangan orang yang mereka cintai. Semua orang dalam keadaan berduka,” ujarnya.

Kekurangan Makanan dan Air Bersih

Ramadan di Gaza kali ini tidak seperti sebelumnya. Pertemuan keluarga yang dulu menjadi ciri khas bulan suci kini dibayangi oleh kesedihan, karena puluhan ribu orang berduka atas orang-orang terkasih yang hilang dalam perang.

Hingga Kamis (27/2/2025), Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan bahwa jumlah korban tewas bertambah menjadi 48.365 sejak 7 Oktober 2023.

Bantuan makanan langka, dan persediaan terbatas yang masuk ke Gaza melalui pedagang harganya jauh melampaui apa yang mampu dibeli oleh banyak keluarga yang kehilangan mata pencaharian mereka.

“Lebih dari dua juta orang menghadapi kekurangan pasokan makanan pokok. Harga telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuat kelangsungan hidup sehari-hari menjadi semakin sulit,” kata Ismail Al-Thawabta, direktur jenderal Kantor Media Pemerintah Gaza.

“Puluhan ribu orang yang mengungsi tinggal di kamp-kamp yang bahkan tidak memiliki kebutuhan paling mendasar,” imbuhnya.

Air bersih juga menjadi barang langka, mempersulit persiapan makanan bagi mereka yang berpuasa. Banyak warga terpaksa menggunakan kayu bakar atau kertas untuk memasak karena peralatan modern tidak tersedia.

Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, menyampaikan bahwa enam bayi baru lahir meninggal dunia akibat kurangnya bantuan kemanusiaan, meskipun ada kesepakatan gencatan senjata.

Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, bayi-bayi itu meninggal dunia karena paparan udara musim dingin.

Pembatasan bantuan juga mencegah masuknya 200.000 tenda dan 60.000 rumah mobil untuk warga Palestina yang mengungsi.

Fakta ini melanggar perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari antara kelompok perlawanan Palestina, Hamas dan Israel.

Kota yang Hancur dan Semangat yang Tak Padam

Hampir seluruh wilayah Gaza kini hancur akibat serangan yang terus berlangsung. Sebanyak 1.109 dari 1.244 masjid di Gaza mengalami kerusakan total atau sebagian. Lebih dari 1,5 juta dari 2,4 juta penduduknya terpaksa mengungsi karena kehancuran yang meluas.

Meskipun demikian, warga Palestina tetap bertekad menjalankan ibadah Ramadan. Salat Tarawih tetap dilaksanakan di antara reruntuhan, dan doa tetap dikumandangkan dari masjid-masjid yang tersisa.

Gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tahanan yang berlaku sejak Januari lalu sempat menghentikan perang untuk sementara waktu.

Namun, kehancuran yang ditinggalkan telah merenggut nyawa lebih dari 48.360 orang, mayoritas perempuan dan anak-anak.

Di tengah penderitaan yang mendalam, warga Gaza tetap mempertahankan harapan dan semangat mereka, menjalani Ramadan dengan doa agar kedamaian segera tiba.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here