Revisi UU TNI, untuk kepentingan siapa?

0
156
Anggota TNI berbisnis misalnya ngojek, selain merendahkan martabatnya, juga bakal menganggu tugasnya sebagai militer profesional yang harus siap mempertaruhkan nyawanya demi negara dan bangsa.

DPR kembali diminta untuk tidak memaksakan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI lantaran masa bakti mereka akan segera berakhir.

“Sebaiknya DPR menghentikan pembahasan agenda Revisi UU TNI itu, karena selain tidak mendesak, DPR juga tidak memiliki waktu cukup untuk membahasnya, “ kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri, dalam keterangannya (Kamis, 25/7).

Menurut catatan, setelah Rapat Paripurna penutupan sidang, 10 Juli lalu, DPR memasuki masa reses dari 12 Juli sampai 15 Agustus, lalu masa tugasnya berakhir pada 30 September 2024 digantikan anggota baru DPR untuk periode 2024 – 2029.

Gufron mengatakan, ada sejumlah hal penting dan krusial dalam revisi UU TNI yang masih diperdebatkan. Selain itu, DPR pada saat ini sedang memasuki masa reses dan baru pada pertengahan Agustus akan kembali masuk masa sidang.

“Artinya, praktis DPR hanya memiliki waktu yang sangat singkat yakni kurang lebih 1 bulan untuk menyelesaikan pembahasan revisi UU TNI,” ujar Gufron.

Gufron juga menilai, sejumlah substansi perubahan yang diusulkan alih-alih memperkuat agenda reformasi 1998 untuk mendorong terciptanya TNI sebagai alat pertahanan negara  profesional,  tetapi justru sebaliknya.

Menurut catatan, yang menuai pro-kontra terutama terkait huruf C Pasal 34 UU TNI tahun 2004 tentang larangan anggota aktif TNI untuk berbisnis.

KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak misalnya, ia setuju larangan anggota TNI berbisnis dicabut, mengingat pemerintah belum bisa sepenuhnya mencukupi kesejahteraan prajurit.

Wacana Wacana untuk menghapus Pasal 39 c  UU No. 34 yang yang memuat larangan TNI berbisnis dilontarkan oleh Kababinkum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro dalam acara Dengar Pendapat Publik terkait RUU TNI/Polri (11/7).

“Kami sarankan Pasal 39 UU TNI huruf c dibuang. Mestinya yang dilarang berbisnis institusi TNI. Tapi kalau prajurit, masak  mau buka warung saja tidak boleh,” ujar Kresno dalam Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri” di Jakarta (11/7).

Hanya didanai APBN

Sebaliknya Anggota Tim Perumus Reformasi TNI Pasca-reformasi Agus Widjojo yang juga mantan Gubernur Lemhannas dan kini Dubes RI di  Filipina berpendapat, fungsi pertahanan yang diemban oleh TNI hanya boleh didanai oleh APBN).

“Kejahteraan prajurit dalam segala aspek kehidupan mereka adalah tanggung jawab pemerintah, “ tandasnya di program Satu Meja, Kompas TV (25/7 malam.

Jika TNI berbisnis, kata Agus, lalu kesejahteraannya didanai oleh orang lain di luar institusi, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan atau loyalitas atau kesetiaannya bercabang.

“Prajurit bakal kebingungan dan ragu bergerak karena perintah dari atasan atau pemberi kekuasaan dari dua sumber berbeda, ” kata Agus.

Sementara, Ketua Centra Initiative Al Araf tak setuju apabila faktor kesejahteraan prajurit menjadi salah satu alasan DPR dan pemerintah ingin merevisi UU TNI. Araf menjelaskan bahwa berdasarkan UU TNI yang berlaku saat ini justru kesejahteraan prajurit seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

“Yang jadi masalah adalah bagaimana implementasi untuk menaikkan kesejahteraan prajurit. Kegagalan negara dalam meningkatkan kesejahteraan prajurit inilah yang jadi masalah,” tegasnya.

Menurut Araf, kegagalan negara menaikkan kesejahteraan prajurit karena berbagai faktor di antaranya, akibat terjadinya dislokasi anggaran pertahanan. “Misalkan ada duit cukup banyak yang seharusnya untuk TNI tapi diperuntukkan untuk komponen cadangan. Buat apa? Seharusnya komponen utama saja,” imbuh dia.

Sementara Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menolak pembahasan revisi Undang-undang (RUU) TNI dan RUU Polri yang sedang berlangsung di DPR.

Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya yang juga anggota koalisi menyatakan, dua RUU tersebut berpotensi membahayakan hak asasi manusia dan mengancam kebebasan berekspresi.

Dimas juga menilai, pembahasan RUU TNI dan RUU Polri dinilai tidak melibatkan publik, apalagi mengingat masa bhakti DPR perode 2019-2024 tidak lama lagi akan segera berakhir, dikhawatirkan pembahasan dilakukan secara transaksional dan mengabaikan kritik dan usulan masyarakat sipil.

Sejumlah pengamat juga menilai, di tengah situasi gepolitik tidak menentu, semestinya TNI fokus pada fungsi dan khittahnya sebagai institusi pertahanan negara.

TNI profesional

TNI menurut Al Araf, postur prajurit TNI idealnya: well trained, well educated, well equipped and well paid”  maksudnya, harus terus berlatih agar siap meyongsong musuh, berpendidikan agar jadi panutan masyarakat, dipersenjatai dengan baik agar tidak kalah dari musuh dan diperhatikan kesejahteraannya oleh negara.

Jika kesejahteraan prajurit tak terpenuhi, pikirannya pasti bercabang, di satu pihak memikirkan nasib anak isterinya yang ditinggal saat bertugas bahkan menyabung nyawa di garis depan.

Sebaliknya, bisa dibayangkan, seperti yang dikatakan KSAD, prajurit boleh berbisnis di luar jam kerja karena yang penting tidak menggangu tugasnya sebagai anggota aktif TNI.

Pertanyaannya, apakah tenaga dan konsentrasinya tidak terkuras jika tiba-tiba ia diinstruksikan harus melakukan tugas tertentu, apalagi berangkat ke medan tempur? Ia terpaksa meninggalkan kegiatan bisnis (mungkin lagi bermalah atau bisa juga sedang laris atau jaya-jayanya).

Bisa jadi, ia berusaha meminta rekomendasi atasan dengan berbagai dalih (ada urusan keluarga  atau lainnya)

Bagaimana pula ekses-eksesnya,  misalnya oknum prajurit wanprestasi atau ingkar janji, tentu mitra bisnisnya akan sulit atau tak punya nyali menagih jika ia tinggal di kompleks atau asrama, atau menghindar, berdalih sedang bertugas ke medan laga.

Sebaliknya, anggota TNI yang terlatih dan dilengkapi persenjataan diperlukan agar terasah menghadapi potensi ancaman yang terus berubah dan teknologi yang terus berkembang.

Sebut saja misalnya penggunaan drone, artificial intelligence, perang cyber, perang proksi dan asimetris yang juga menuntut perubahan konsep pertahanan, taktik dan strategi.

Apakah konsep pertahanan keamanan semesta  (hankamrata) yang tertuang dalam UU No. 34 tahun 2004 dengan mengerahkan  warga sipil masih relevan? Ini perlu terus dikaji!

Banyak hal yang harus ditekuni dan diasah oleh seorang anggota TNI profesional, jadi kalau harus nyambi bisnis, agaknya naif!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here