Hizbullah dan Iran tidak bantu Assad

0
169

IRAN dan milisi Hizbullah menyatakan belum berencana cawe-cawe mengirimkan pasukan ke Suriah untuk membantu rezim Pemerintah Bashar al- Assad yang keteran menghadapi aliansi  pemberontak di negara itu.

Aliansi perlawanan yang dimotori kelompok Hayat Tahrir al-Sham berhasil memukul mundur pasukan pemerintah dari wilayah Aleppo dan Idlib, Minggu (1/12) dan saat ini hanya bertahan dengan mengandalkan dukungan udara dari pesawat-pesawat tempur Rusia.

Menlu Iran Abbas Arrachi kepada Reuter (1/12) menilai, pasukan Suriah masih mampu menghadapi pemberontak , namun negaranya bersama mitra lain seperti Hizbullah siap membantu jika sewaktu-waktu diperlukan ke depannnya.

Hizbullah sendiri mengaku belum menerima permintaan resmi dari rezim Suriah, namun yang jelas saat ini milisi garis keras proksi Iran itu sedang fokus menghadapi pasukan  Israel di Lebanon.

Pengalihan besar-besaran pasukan milisi Hizbullah dari Suriah ke Lebanon selatan dilakukan sejak  Oktober lalu lalu setelah terjadi eskalasi konflik akibat serangan mendadak Hamas ke Israel selatan dan dibalas dengan bombardemen masif Israel ke Jalur Gaza hingga hari ini.

Hingga kini, diperkirakan sekitar 4.000 anggota Hizbullah telah tewas akibat serangan Israel di Lebanon sejak Oktober lalu

Peluang Trump jadi mediator

Sementara bagi AS, kemelut yang terjadi di Suriah saat Preiden terpilih Donald Trump akan menempati Gedung Putih Januari mendatang, membuka peluang baginya untuk memediasi perdamaian di kawasan itu.

Serangan kilat oleh pemberontak yang merebut kota terbesar kedua di Suriah, Aleppo, terjadi setelah sekutu AS, Israel, berupaya melemahkan Hamas dan Hizbullah, dua pendukung utama rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Sedangkan Rusia yang juga berada di kubu Assad masih fokus pada perang di Ukraina. Di wilayah yang terus bergolak sejak perang di Gaza itu, posisi AS terhadap Suriah, yang dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Joe Biden, tidak banyak berubah selama satu dekade.

AS sendiri di satu sisi sejauh ini tidak memprioritaskan upaya untuk menumbangkan rezin Bahar al-Assad walau juga tidak tidak mendukung para pemberontak Suriah.

“Pemerintahan Biden tidak hanya mengesampingkan Suriah. Mereka mengangkatnya dari kompor,” kata Andrew Tabler, penasihat senior Suriah selama pemerintahan Trump terakhir yang sekarang menjadi peneliti senior di The Washington Institute.

“Anda dapat mengangkat masalah dari kompor sesuka Anda, tetapi itu tidak berarti masalah itu tidak akan meledak,” kata Tabler dikutip dari AFP (3/12).

Tabler menilai, kemunduran di medan perang akhirnya dapat memaksa Assad untuk melakukan solusi yang dinegosiasikan, yang telah lama ia tolak.

“Saya pikir pemerintahan yang akan datang (di bawah Presiden Trump) memberikan perhatian lebih pada Suriah dan konflik seperti itu akan lebih mudah dikelolanya. “Namun kita belum tahu seperti apa bentuknya,” tuturnya.

Sementara Presiden Barack Obama ketika menjabat, menolak tekanan untuk menyerang Assad dan merangkul para pemberontak.

Obama malah memilih opsi lain yaitu bersekutu dengan para pejuang Kurdi untuk tujuan sempit AS, yakni mengalahkan kelompok ekstremis ISIS. Sampai hari ini, sekitar 900 tentara AS masih berada di Suriah.

Trump dalam masa jabatan pertamanya, dengan pendekatan impulsif yang menjadi ciri khasnya memerintahkan penarikan pasukan AS atas desakan Turkiye, yang mendukung para pejuang Islam dan menyamakan pasukan Kurdi Suriah sebagai kelompok militan lokal.

Konflik Suriah sulit dicarikan solusinya, karena banyak kepentingan di sana, di tingkat global, AS dan Rusia, sedangkan di tingkat regional, Iran memerlukan Suriah untuk mengganggu Israel, sementara negara-negara Arab lainnya jalan sendiri-sendiri.

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here