TOLIKARA – Ustaz Ali Mukhtar resmi menjadi tunawisma. Tokoh muslim itu menjadi korban kerusuhan saat Hari Raya Idul Fitri (17/7/2015) di Distrik Karubaga, Tolikara, Papua. Rumah dan kiosnya yang terbuat dari kayu, hangus dilalap api bersama sejumlah bangunan lain di wilayah itu.
Pria asal Ngawi, Jawa Timur, itu kini praktis tak punya tempat tinggal. Namun kemudahan menyertainya, hasil dari persahabatan umat Islam dan Kristen Tolikara yang dibangun berpuluh tahun. Ali tak perlu kebingungan ke sana kemari mencari tempat penampungan.
Warga Kristen setempat yang juga putra daerah dan juga menjabat sebagai ketua adat, Fiktor Kogoya, membuka lebar pintu rumahnya untuk Ali. Fiktor dengan senang hati menampung Ali hingga rehabilitasi rampung seluruhnya di Tolikara.
Rumah Fiktor tak jauh dari lokasi musala yang terbakar saat kerusuhan. Pun hanya berjarak sekitar 50 meter dari Komando Rayon Militer Tolikara. Di bangunan satu lantai yang terbuat dari kayu itulah Ali beserta keluarganya diizinkan tinggal.
Saat ditemui wartawan CNN Indonesia, Aghnia Adzkia, di pekarangan rumah Fiktor, Ali bercerita mengenai kebaikan hati saudara Kristennya itu.
“Saya tinggal di rumah Pak Fiktor. Saya sudah keluar-masuk rumah ini seperti rumah sendiri,” ujar Ali di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Kamis (23/7).
Ali bertutur, keakrabannya dengan Fiktor bukan baru saja terbentuk, melainkan telah tertanam sejak bertahun-tahun silam. Ali yang merupakan seorang pendatang, rajin bertandang ke rumah warga lokal setempat, tak terkecuali Fiktor dan Pendeta Nayus Wenda, Ketua Kantor Wilayah Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Tolikara.
Sembilan tahun Ali menetap di Tolikara, hubungannya dengan para pendeta dan kepala suku penganut Kristen di distrik lain, laiknya keluarga yang terikat pertalian darah.
“Saya kenal gembala-gembala dan pendeta di sini. Saya kan kalau ada duka (orang meninggal), datang (melayat). Dari situ saya kenal masyarakat dan pendeta,” ujar Ali.
Ali juga mengajak keluarga dan tetangga muslim lainnya jika melayat. “Misal (melayat ke) distrik berbeda malam-malam, ya saya tetap datang,” kata dia.
Pengungsi lainnya, Mustikatun, juga merasakan kehangatan yang sama. Perempuan asal Jawa Timur itu gembira karena diizinkan warga lokal tinggal di rumah kayu dua kamar, salah satunya berukuran sekitar 2,5 x 1,5 meter.
Di depan kamar itulah Mustikatun menggunakan dua kompor untuk memasak makanan bagi anak-anaknya dan pengungsi lain. Saat ditemui di tempatnya mengungsi, Mustikatun tengah memasak air dan nasi untuk keluarganya dan kerabat lain.
Dengan nada lirih, dia lantas menceritakan kejadian saat rumah kayu miliknya dijebol oleh sekelompok orang yang mengamuk dalam kerusuhan.
Saat itu Mustikatun sedang tak menjalankan ibadah salat Id dan berada di rumah. Dari dalam rumah, ia mendengar suara gaduh, campuran antara teriakan orang-orang dan amukan massa.
“Lemparan batu-batu dan kayu juga (sampai) ke kios,” ucap Mustikatun.
Ia bergegas keluar rumah sambil menggendong anaknya yang berusia 3 tahun. Mustikatun berlari ke arah Koramil Tolikara untuk menyelamatkan diri. Barang-barang di dalam rumahnya ditinggal begitu saja. Ia lantas ditampung oleh warga setempat yang tinggal tak jauh dari Koramil.
“Saya ingin Tolikara kembali tenteram seperti biasa. Aman dan rukun. Tidak ada serangan,” kata Mustikatun.
Cerita Ali dan Mustikatun diamini oleh Fiktor yang ditemui terpisah. Tak berselang lama usai kejadian amuk massa, Fiktor dan istrinya, Yus Mina, menyilakan warga muslim Tolikara berlindung di kediaman mereka.
Fiktor dan Yus Mina berbuat demikian bukan tanpa alasan. Keduanya merasakan betul kehangatan dari warga muslim yang kerap menjenguk umat Kristen yang tengah berduka lantaran ditinggal wafat anggota keluarga mereka.
“Ada duka dan masalah apa di keluarga kami, yang langsung cepat ambil bagian rasa duka dan kekurangan kami, biasa dari keluarga teman-teman kami pihak muslim, bahkan pendatang dari luar seperti Toraja,” kata Fiktor.
Tak ayal, Ali dan warga muslim lainnya di Tolikara sudah dianggap seperti bapak, adik, atau saudara. “Sehingga saat ada kejadian, mereka langsung mengungsi ke keluarga kami,” kata Fiktor.
Fiktor menganggap dirinya sebagai putra daerah yang memiliki hak ulayat di Tolikara sehingga harus mengayomi seluruh warga, termasuk umat Islam yang tinggal di sana. (Baca juga Kepala Suku Saat Tolikara Membara: Selamatkan Rumah Ustaz!)
153 pengungsi
Sejumlah pengungsi lain juga ditampung di tenda hijau milik aparat. Tenda tersebut didirikan di atas lapangan voli milik Koramil Tolikara. Kementerian Sosial mencatat, jumlah pengungsi mencapai 153 orang, terdiri dari orangtua, anak muda, dan anak kecil.
Saat CNN Indonesia bertandang ke sana Kamis sore, para pengungsi sedang berasyik-masyuk berbincang di depan tenda. Sebagian dari mereka pemuda dan pemudi. Sementara anak-anak kecil berlarian. Suasana senja nan bahagia tercipta meski mereka berada di pengungsian.
Orang-orang yang diungsikan itu adalah pemilik 63 rumah dan kios yang ikut terbakar dalam kerusuhan Tolikara.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan pemerintah menjamin ketersediaan logistik makanan dan sarana mandi-cuci-kakus (MCK) di lokasi pengungsian. Logistik diklaim aman dan mencukupi hingga pemulihan atau rehabilitasi infrastruktur ruko-ruko rampung diselesaikan di Tolikara.
Rehabilitasi rumah dan kios sudah dimulai secara simbolik oleh Bupati Tolikara Usman Wanimbo. Usman bersama Kapolda Papua Inspektur Jenderal Yotje Mende, Panglima Daerah Militer XVII/Cenderawasih Mayor Jenderal Fransen G. Siahaan, Pendeta GIDI Marthen Jingga, Ustaz Ali, dan para pemuda muslim serta Kristen, secara simbolik meletakkan batu pertama pembangunan rumah dan kios di Lapangan Ampera, Karubaga. (Baca: Tolikara Banjir Bantuan Sosial, Rehabilitasi Dimulai)
“Ini dalam rangka percepatan penanganan musibah bencana sosial. Semua yang kami lakukan sebagai tanda kebersamaan yang selama ini sudah ada di Tolikara,” kata Usman.
Tolikara kembali berdenyut, tak hendak tenggelam pada huru-hara satu hari. – CNN