
JAKARTA, KBKNews.id – Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump ternyata memberikan dampak negatif terhadap sektor energi Amerika Serikat, termasuk produksi minyak dan pengembangan energi terbarukan.
Berdasarkan laporan terbaru dari firma konsultan energi Wood Mackenzie (WoodMac), langkah proteksionis tersebut justru melemahkan pertumbuhan energi nasional serta menurunkan daya saing global AS.
Laporan yang dirilis pada akhir Mei itu menyoroti bahwa pengumuman tarif pada 2 April, yang dijuluki sebagai “Hari Pembebasan” oleh Presiden Trump, menjadi titik penting dalam ekonomi global.
Namun, tidak seperti masuknya Tiongkok ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001 yang mendorong pertumbuhan global, kebijakan tarif AS justru memicu ketegangan dagang dan menghambat hubungan perdagangan internasional yang sudah mapan.
WoodMac merancang tiga skenario untuk menganalisis dampak tarif, dengan skenario terburuk menyatakan tarif bisa melonjak hingga lebih dari 30 persen. Dalam kondisi ini, Produk Domestik Bruto (PDB) global diperkirakan turun hingga 2,9 persen pada 2030.
Sektor minyak yang menjadi andalan kemandirian energi AS terkena dampak paling parah. Dalam skenario tersebut, permintaan minyak global akan menurun tajam pada 2026 dan meskipun ada pemulihan mulai 2027, tingkat permintaan pada 2030 tetap lebih rendah 2,5 juta barel per hari dibandingkan skenario optimis.
Harga minyak pun diperkirakan merosot ke angka rata-rata 50 dolar AS per barel pada 2026, mengancam kelangsungan usaha pengeboran minyak serpih (shale oil) di AS.
Penurunan harga minyak ini akan membuat kegiatan eksplorasi dan produksi minyak di AS, terutama di wilayah Lower 48, tidak lagi ekonomis. Bahkan, dengan upaya efisiensi yang maksimal pun, perusahaan tetap akan kesulitan mempertahankan produksi.
Investasi energi pun mengalami tekanan akibat ketidakpastian yang ditimbulkan tarif. Banyak perusahaan harus menunda proyek, menyesuaikan strategi, bahkan mengurangi investasi. Akibatnya, pertumbuhan pasokan energi, baik di dalam maupun luar negeri, ikut melambat.
Kebijakan tarif ini juga menghambat sektor energi bersih. Biaya impor yang tinggi membuat AS menjadi tempat yang mahal untuk mengembangkan energi terbarukan dan teknologi penyimpanan energi. Alih-alih mendorong produksi dalam negeri, tarif justru menurunkan daya saing dan efisiensi rantai pasokan energi.
Sektor logam dan pertambangan pun ikut terpukul. Permintaan untuk aluminium, tembaga, baja, dan litium – yang krusial untuk infrastruktur energi – menurun drastis.
Permintaan baja bahkan diperkirakan turun 90 juta ton dan litium sebesar 70.000 ton pada 2026 dibandingkan proyeksi semula.
Laporan ini menekankan bahwa pelaku industri energi kini harus menghadapi ketidakpastian jangka panjang yang berisiko menghambat arah pertumbuhan energi AS.
Investasi yang lebih berisiko kemungkinan akan dipangkas, sementara perusahaan akan lebih memilih strategi fleksibel untuk menghadapi kondisi yang tidak pasti dalam beberapa tahun ke depan.