SEMAR BOYONG

Dengan tewas dan hilangnya jazad bidadari-bidadari itu, tiba-tiba muncul Dewi Kanastren yang sudah begitu lama dirindukan oleh Ki Lurah Semar.

SEBAGAI raja Purwonegoro yang hak keungannya sebulan Rp 100 juta Prabu Mahendradenta banyak harta dan wibawa. Dia punya sejumlah rumah mewah di Pondok Indah, ada pula harta bergerak dan yang bergerak-gerak. Sayangnya, dalam usia 40 tahun dia masih jomblo, belum ada perempuan yang mau dipersuntingnya. Walhasil, tiap malam dia kebanyakan bengong, lalu kesepiannya itu ditumpahkannya dengan main gaple atau catur bersama jubir Istana, Tumenggung Jaya Dongkolin.

Kenapa begitu, karena faktor tampang yang tidak menunjang. Sebab Prabu Mahendradenta berwujud raksasa. Berulangkali dia melamar peragawati dan fotomodel yang ayu nan syahdu, sayang kesemuanya menolak dan tidak sanggup jadi first lady di Kerajaan Purwonegoro. Malah ada di antara gadis yang diincar Prabu Mahendra­denta langsung stuip begitu melihat tampang Sang Prabu.

“Aku punya suami kayak dia, amit-amit. Bisa rusak keturunan saya.”

“Kawinin saja sama ayam kalkun,” kata rakyat oposan yang nyinyir.

Suatu malam Prabu Mahendradenta bermimpi sampai terbasah-basah, bertemu dengan Dewi Kanastren yang cantik jelita macam penyanyi Syahrini. Dalam mimpi tersebut seakan Prabu Mahendradenta sudah resmi menjadi suami istri dengan putri dari Kahyangan itu. Maka begitu bangun tidur dan langsung mandi, tidak lupa menggosok gigi,  Mahendradenta panggil Patih Gagaklodra.

“He Patih Gagaklodra, raja macam gue pantas nggak punya bini bidadari Dewi Kanastren dari Kahyangan?” kata konglomerat dari Purwonegoro itu sambil nggado (makan tanpa nasi) kalkun panggang.

“Pantas sih pantas, Baginda. Tapi sayang, Dewi Kanas­tren baru saja dipersunting Ki Lurah Semar dari Klampis Ireng Permai. Telat sampeyan…!”

“Keciiil, itu! Lurah paling-paling cuma golongan III-A sedangkan sAya VI-F, masak Kanastren nggak ngiler lihat gue. Lu berangkat ke sana, rebut istri Semar itu untuk gue. Mengerti Patih?”  Ulah Prabu Mahendradenta makin galak.

Prabu Mahendradenta tak mengenal istilah tidak. Maka daripada dicap kontra revolusi dan merongrong kewibawaan raja, Patih Gagaklodra langsung berangkat ke Klampis Ireng dengan mengendarcri mobil roti tawar alias minikab.

Di saat Prabu Mahendradenta tergila-gila akan Dewi Kanastren, sebenamya pengantin baru Semar – Kanastren sedang diliputi mendung kelabu. Bidadari yang baru sebulan dinikahi tersebut telah minggat ke Kahyangan minta suak politik, gara-gara jadi korban KDRT (dipukuli) Ki Lurah Semar. Persoalannya sepele, Dewi Kanastren minta sepatu berhiaskan berlian. Padahal lurah macam Semar yang wilayahnya jarang ada pembebasan tanah berhektar-hektar, paling banter cuma bisa membelikan sepatu made in Cibaduyut.

“Kau harus tahu Nyai, gajiku berapa tiap bulan? Daripada untuk beli sepatu macam begitu mendingan untuk melunasi tunggakan BTN rumah kita. ” ujar Ki Lurah Semar memberi pengertian.

“Tapi Kanda harus tahu kan, istrimu yang cantik ingin menyambut Asian Games 2018 dengan berbagai kejutan. Apa mungkin istri lurah bertahun baru dengan sepatu yang sudah jebol solnya?” jawab Kanastren ketus.

Memperoleh jawaban demikian, pengantin laki-laki ber-usia 60 tahun ini jadi emosi. Dewi Kanastren ditempeleng, pleg-pleg sampai biru pelupuk matanya, persis eye shadow. Perempuan yang biasanya dipukul dengan cebanan segepok itu jadi terpana. Hatinya begitu sakit, sehingga lang­sung kabur ke Kahyangan ke rumah orangtuanya.

Sepeninggal istri, Ki Lurah Semar menyesal dalam hati. Makan minum yang biasanya tinggal menyantap, kini harus masak sendiri. Begitu pula soal pakaian, terpaksa mengikuti jejak Rinso; mencuci sendiri! Yang paling meresahkan, tanpa istrinya itu hati Semar jadi sepi.

Ketimbang pusing Ki Lurah Semar memilih tidur mendengkur mengusir rasa frustrasi. Grghhh, grghhh, grghhhh….! Di luar kamar Semar, beberapa wayang Pandawa dan Ngastina tampak menunggu dengan gelisah. Ada Gatutkaca, ada Abimanyu, ada pula Patih Sengkuni beserta wayang top Adipati Karno. Mereka berlomba ingin mem-bangunkannya sekaligus memboyong ke negeri masing-masing. Sebab ada firasat dari dewa, barangsiapa mampu memboyong Ki Lurah Semar, akan menyebabkan negaranya mampu tinggal landas dalam waktu cepat.

Adipati Karno yang tak sabaran, mencoba mendobrak masuk ke dalam kamar peristirahatan Semar. Tapi segera dicegah oleh Gatutkaca.

“Maaf Pakde Karno kenapa begitu ngotot untuk memboyongnya? ” ujar Gatuka-ca tegas.

“Saya minta pengertianmu Gatutkaca. Kalau Semar tak bisa diboyong sekarang juga, nanti sampai Ngastina jam berapa? Bila pukul 22.00 belum di rumah, saya bisa nggak dikasih pintu oleh Budemu Surtikanti…!”

Duile, adipati kok anggota STI (Suami Takut Istri). Tapi yang begitulah, karena sama-sama ngotot, akhirnya perkelahian terjadi. Gatutkaca melawan Adipati Karno, Abimanyu melawan Kartomarmo. Beruntung, sebelum jatuh korban dan ketahuan polisi, Semar sudah bangun lebih dulu dan melerai perkelahian tersebut.

“Begini saja. Saya tidak keberatan diboyong ke Ngastina atau Ngamarta, asalkan bisa menyerahkan kepadaku kembang Cempakahandini dan Tunjungseta, serta lunas PBB 2018…!” kata Lurah Semar yang ternyata masih ingat tugas-tugasnya di kantor.

Keterangan resmi Ki Lurah Semar sungguh melegakan semua yang hadir. Semua wayang Ngastina dan Ngcmarta segera cabut dari Klampis Ireng Permai. Ada yang naik busway, ada yang numpang ojek online. Cuma Patih Sengkuni yang  mengendari Toyota Kijang Inova dengan nomer masih profit.

Tiba di NgamartaAbimanyu dan Gatutkaca segera menghadap Prabu Puntadewa yang kebefulan sedang mengadakan sidang selapanan dihadiri Prabu Kresna dari Dwarawati. Mendengar laporan kedua kesatria tersebut Prabu Kresna langsung tepuk jidatnya yang makin licin.

“Celaka, persyaratan yang gampang-gampang susah itu. Bunga macam begitu di Rawabelong pasti nggak kecuali di Alang-alang Kumitir Provinsi Kahyangan,” kata Kresna.

Orang paling top di Dwarawati itu segera menugaskan Harjuna untuk minta bunga tersebut kepada Sanghyang Wenang pemiliknya. Selain menyerahkan tiket Citilink, Kresna masih memberikan petunjuk penting demi suksesnya misi itu.

“Kau tahu kan watak Sanghyang Wenang?. Ajak minum bir dulu sampai teler, baru ajukan permintaan itu, pasti di ACC…”. kata Kresna bisik-bisik.

Sementara keluarga Pandawa berangkat ke Klampis Ireng Permai, Harjuna berangkat ke Kahyangan. Sayang, Harjuna ini termasuk “koruptor” kelas teri juga. Tiket pesawat diam-diam ditukar uang, dan dia pilih ke Alang-Alang Kumitir naik bis malam. Akibatnya ketemu Sanghyang Wenang terlambat 12 jam.

“Kamu sih Harjuna, dalam situasi begini masih juga cari uang lebihan. Terlambat kan jadinya ketemu saya….”, ujar Sanghyang Wenang yang rupanya lebih tahu segala perbuatan cukiamai wayang-wayang.

Dengan tersipu-sipu Harjuna mengakui kesalahannya. Di warung pojok daerah Alang-Alang Kumitir, mereka berembug sambil minum bir. Setelah habis satu krat, barulah Harjuna menyampaikan maksud sebenarnya.

“Ya, ya, saya tahu. Tapi kalau yang berbentuk bunga, nggak ada. Tunjungseta dan Cempakahandini itu wujudnya adalah bidadari. Ambillah kalau mau…!” jawab Sanghyang Wenang yang masih teler kebanyakan minum.

“Kebetulan sekali Pukulun …!” ujar Harjuna yang terkenal gatal tangan melihat wanita cantik.

Singkat kata Harjuna berhasil memboyong Dewi Tunjung­seta dan Cempakahandini ke bumi. Dengan alasan jangan sampai diganggu orang, dalam perjalanan menuju Klampis Ireng Permai kedua wanita itu selalu digandengnya. Padahal maksud sebenarnya sih; lumayan bisa nyenggol-nyenggol dikit!

Begitu melihat Dewi Tunjungseta-Cempakahandini tiba, Ki Lurah Semar langsung tertawa terkekeh-kekeh, menampakkan giginya yang tinggal satu di gusi bawah. Tanpa menunggu acara penyerahan secara simbolis, kedua putri itu langsung digelandang masuk kamar.

Di dalam kamar ternyata kedua bidadari itu langsung diadu kepalanya hingga tewas. Bersamaan dengan tewas dan hilangnya jazad bidadari-bidadari itu, tiba-tiba muncul Dewi Kanastren yang sudah begitu lama dirindukan oleh Ki Lurah Semar. Ternyata Dewi Cempakahandini merupakan penjelmaan dari jazad Dewi Kanastren, sementara Tanjungseta penjelmaan dari rokh nyonya Semar.

“Akhirnya kau kembali juga Nyai. Tanpa kau ternyata dunia benar-benar sepi, apalagi jabatan ketua tim penggerak PKK kelurahan jadi kosong…” kata Ki Lurah Semar sambil memeluk istrinya.

“Maafkan Kanda, saya memang bersalah. Di Kahyangan saya juga kesepian, habis kegiatan ibu-ibu di sana cuma arisan melulu…!”

Selesai melepas rindu gaya wayang Semar segera mem­boyong istrinya keluar menemui para tamunya. Ternyata di luar telah tiba pula Patih Sengkuni sambil membawa karangan bunga untuk memenuhi permintaan Semar.

“Ini mah bunga dari Cikini. Sudah lah bawa pulang lagi buat binimu…!” kata Semar dongkol.

Patih Sengkuni cuma bisa nyengir kuda, dan buru-buru pulang ke Ngastina. Maka sesuai dengan janjinya, Ki Lurah Semar kemudian segera diboyong ke Ngamarta, tapi baru tiba di tengah perjalanan rombongan bertemu dengan Patih Gagaklodra utusan Prabu Mahendradenta dari Purwonegoro,

“Ha, ha, ha, kebetulan Dewi Kanastren ada di sini. Boleh nggak boleh harus saya bawa ke Purwonegoro untuk gula-gula rajaku,” kata Patih itu menyetop bis tersebut, bagaikan Polantas memeriksa surat-surat jalan.

Gatutkaca mendengar kata-kata sok nan pongah itu jadi naik pitam, maka perkelahian pun terjadi. Dengan gampang patih raksasa itu dibinasakan. Dan rombongan meneruskan perjalanan ke Ngamarta lewat jalan tol Cikampek. (Ki Guna Watoncarita)