Siswa bermasalah, perlukah dimasukkan ke barak?

Pro-kontra mencuat terkait perlu tidaknya siswa bandel digembleng di barak militer seperti yang dgagas Gubernur Jabar Dedi Mulyadi (foto: Antara)

SESUAI program yang digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, 39 siswa bermasalah di Purwakarta, dimasukkan ke barak Yon Armed 1 Kostrad di kabupaten tersebut untuk digembleng dan diperbaiki mentalnya.

Program itu pun menjadi viral di media karena memicu pro dan kontra, baik di kalangan pakar pendidikan, DPR dan publik .

Bupati Purwakarta Saepul Bahri (2/5) mengemukakan,  para siswa akan mendapat 60 persen materi kedisiplinan, 40 persen wawasan kebangsaan a.l.  cinta tanah air, nilai nilai kepahlawanan, kerohanian, pelajaran sekolah, bimbingan konseling dan psikologis.

Di hari pertama pendidikan, para siswa dimasukkan ke barak tentara. Mereka mulai menjalani rutinitas pendidikan disiplin dan makan bersama yang juga merupakan pengalaman baru bagi mereka.

Ke-39 siswa itu selama ini ditengarai bermasalah seperti sering membolos, ikut tawuran, dan berbagai kenakalan remaja lainnya.

Gubernur Dedi sendiri sejauh ini bergeming dengan berbagai penolakan di tengah publik, karena ia melihat dari tahun ke tahun, tidak ada solusi untuk mengakhir praktek anomali yang dilaukan mereka.

“Mereka di barak militer bukan dilatih untuk berperang, tetapi dilatih berdisiplin, tertib, memiliki wawasan kebangsaan. Para orang tua mereka yang sudah kewalahan dengan ulah anaknya, juga senang, “ kata Dedi.

Tergesa-gesa

Namun  kalangan pakar pendidikan, DPR, Komnas HAM menolak program gubernur Jawa Barat tersebut karena dianggap tergesa-gesa, tidak melihat dari berbagai aspek dan sudut pandang secara komprehensif.

Pakar pendidikan Universitas Surabaya Martadi berpendapat, seharusnya dilakukan asesment dulu dan dideteksi apa permasalahannya, juga untuk menyiapkan payung hukum atau ‘legal standingnya”.

“Tidak semua jenis kenakalan anak cocok  ditangani melalui pembinaan di barak militer, “ ujarnya di program TV Kompas (6/5) seraya menambahkan, bisa saja si anak mengalami masalah kesehatan atau berbakat seni yang ingin kebebasan. Itu (masuk barak-red) nggak cocok, “ ujarnya.

Menurut dia, pendidikan ala militer mungkin cocok untuk anak-anak tertentu yang tidak dilabeli predikat anak nakal. “Lagipula, kalau dianggap nakal , kenapa harus dididik di barak, bukannya di pesantren?,” tanya Martadi.

Jadi, menurut dia, banyak pola pembelajaran lain yang dilakukan untuk menangani anak bermasalah tergantung dari permasalahannya. “Jangan sampai, sudah digembleng enam minggu di barak, masalahnya gak teratasi, “ tuturnya.

Martadi juga menyarankan agar sebelum dilaksanakan, program itu perlu dikonsultasikan dulu dengan kemendikdasmen, asosiasi pendidikan (PGRI),pemda, DPR dan stakehorlder lainnya.

“Dengan demikian, permasalahannya bisa dilihat secara utuh dari berbagai aspek, “ ujarnya.

Hal senada dilontarkan pada program TV yang sama oleh anggota Komisi  DPR Dr. Gamal Abinsaid yang menilai pembinaan anak nakal di barak militer tidak akan efektif.

“Pola pendidikan militer pada anak atau remaja bermasalah tidak efektif, bahkan kontraproduktif,dan berdasarkan penelitian, pelaku cenderung mengulangi perbuatannya.

Program pelatihan secara keras, ujarnya, juga membuat peserta memiiki kecenderungan untuk melakukan tindakan yang mengarah ke tindak kriminal.

Pembiaran bertahun tahun

Sedangkan menurut catatan penulis, anomali perilaku siswa seperti tawuran, aksi kekerasan seksual, fisik maupun verbal, geng motor, pembulian yang memakan korban, bahkan nyawa, terjadi akibat pengabaian selama bertahun tahun berbagai lini pengawasan.

Mulai dari orang tua. Banyak mereka yang tak paham dengan kenakalan anak dan remaja (juvenil delinkuensi) di era now karena rendahnya literasi pendidikan, sibuk, atau masa bodoh.

Di lingkungan permukiman, ada lembaga ketetanggaan mulai dari RT, RW sampai kelurahan, aparat kepolisian hadir mulai dari level kelurahan yakni babinsa, di atasnya ada pos polisi, polsek, polres, polda, sedangkan aparat keamanan (TNI), ada babinkamtibmas, koramil, kodim, korem, sampai kodam.

Wakil-wakil rakyat di pusat dan daerah, (DPR-RI, DPRD Provinsi sampai DPRD Kabupaten/Walikota, memiliki komisi yang menangani pendidikan, ada pula DPD di tiap provinsi.

Jika saja mereka bekerja sepenuh hati, mencegah terjadinya aksi-aksi kenakalan anak atau remaja sejak dini, tidak membiarkan anomali terakumulasi , meluas dan pelanggaran yang dibuat makin berat, tentu yang terjadi tidak seperti kenyataan yang kita hadapi hari ini.

Sudah saatnya para orang tua, elite, birokrasi pemangku kepentingan dan aparat keamanan yang mengawasinya mulai bergerak!

Tidak cuma omon-omon, membuat wacana, apalagi pencitraan belaka. Situasi sudah gawat!

 

 

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here