spot_img

Sok Dekat Dan Manfaatkan Pejabat

SETIAP orang itu senang jadi pejabat. Banyak yang berhasil.  Tapi yang gagal, merasa sok dekat dengan pejabat saja sudah alhamdulillah. Paling celaka adalah, memanfaatkan pejabat. Ironisnya, yang jadi pejabat kadang tak merasa jadi pejabat. Maka ketika Jokowi berbasah-basah payungi sendiri raja Salman di Istana Bogor, mendapat aplaus dari rakyatnya. Tapi yang tak suka, komentarnya pun minir, “Presiden kok sampai segitunya….!”

Ingat Dimas Kanjeng penipu ulung dari Probolinggo (Jatim)? Dia juga pasang foto bareng Presiden Jokowi dan Panglima TNI di ruang tamunya. Foto-foto itu untuk meyakinkan para korbannya. Dimas Kanjeng ingin membangun citra bahwa dekat dengan pejabat tinggi negara, berarti bukan orang sembarangan. Padahal bisa saja foto itu tipuan, hasil rekayasa komputer lewat program Potoshop.

Ada pernah kejadian di makam Sunan Gunungjati Cirebon. Saat mantan Menpen Harmoko ziarah ke sana tahun 2005, nama besar beliau masih cukup menyedot perhatian orang. Berebut untuk foto bersama. Lalu ada yang sok akrab, tiba-tiba menjejeri Harmoko dan berphose dengan merangkul pundaknya. Oleh Harmoko tangan lancang itu ditepiskannya. Bayangkan, sudah bukan pejabat saja masih banyak ingin sok akrab, apa lagi ketika masih menjabat.

Ada juga orang yang ketika disebut nama pejabat terkenal langsung komentar, “Punika kanca kula (itu teman saya).” Jika dia juga sama-sama orang sukses, mendinglah. Tapi kebanyakan justru dia hanya orang biasa, sehingga ketika “pamer” sang teman yang pejabat, sekaligus menunjukkan bahwa dirinya orang yang gagal. Malukah dia? Sama sekali tidak, sebab motivator selalu mengatakan: kegagalan adalah sukses yang tertunda.

Begitulah manusia, ada kecenderungan ingin menjadi pejabat. Tapi ada juga pejabat yang merasa dirinya tidak menjadi pejabat. Jokowi misalnya, sejak jadi walikota, gubernur sampai presiden, dia tetap bersikap biasa saja, tidak mencoba jaim (jaga imej). Saat jadi walikota Solo, tanpa malu-malu beli sepatu bekas, dan nawar lagi. Dalam acara peresmian pakai pukul gong, tanpa sungkan Gubernur Jokowi langsung geser sendiri tiang gong yang hendak ditabuh presiden. Pak SBY pun sampai geleng-geleng kepala.

Dalam menyambut raja Salman di Istana Bogor Rabu lalu, sepertinya Jokowi tak merasa dirinya Presiden RI. Ketika hujan turun dengan lebatnya, tanpa sungkan Jokowi berbasah-basah menuntun dan memayungi sendiri raja Salman. Kontan adegan itu menjadi viral di jagad medsos. Padahal bagi pembenci Jokowi, komentarnya justru, “Presiden kok sampai segitunya….!”

Paling celaka dan bahaya adalah, manusia-manusia yang memanfaatkan pejabat. Anak menteri UKM Syarief Hasan dalam KIB-II misalnya, begitu sang ayah jadi menteri langsung memanfaatkan dengan ikut lelang proyek videotron, motifnya memang cari untung. Karena berbau korupsi, akhirnya dia masuk penjara meski telah mengorbannya sang sopir untuk dijadikan direktur abal-abal.

Di masa Orba, Panglima TNI Beny Moerdani dicopot Pak Harto karena mengkritik secara telak. Sambil main bilyard di Cendana, Beny bilang, “Sebetulnya kepemimpinan Bapak bagus, tapi yang bikin rusak adalah anak-anak Bapak.” Kontan Pak Harto meninggalkan Beny Moerdani dan beberapa hari kemudian Panglima TNI digantikan Try Sutrisno.

Dalam kasus manipulasi pajak Handang Sukarno, ada pengusaha yang memanfaatkan Arief Budi Sulistyo adik ipar Presiden Jokowi. Agaknya dia juga tak menyadari bahwa dirinya orang dekat presiden, sehingga mau membantu. Walhasil namanya terbawa-bawa. Maka contohlah sang ponakan, yakni anak-anak Jokowi sendiri. Sejak bapak jadi walikota, gubernur sampai presiden, Gibran tak pernah manfaatkan jabatan ayah. Dia terus sibuk bisnis katering dan martabak, tidak ikut-ikutan mencari proyek. (Cantrik Metaram)

 

 

 

 

 

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles