April telah ditetapkan sebagai Stress Awareness Month sejak tahun 1992. Pemilihan bulan ini tidak hanya berkaitan dengan pergantian musim yang identik dengan pembaruan dan harapan, tetapi juga sebagai respons terhadap peningkatan beban fisik serta mental yang dihadapi masyarakat modern.
Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi global—yang diproyeksikan hanya mencapai 2,8% pada tahun 2025—tekanan ekonomi seperti inflasi, ketegangan perdagangan, dan tingginya tingkat utang semakin meningkatkan potensi stres, terutama di kalangan individu rentan seperti pekerja berpendapatan rendah dan keluarga yang menghadapi ketidakamanan pangan.
Tema tahun ini, #LeadWithLove, mengedepankan pendekatan berbasis kasih sayang, empati, dan penerimaan tanpa syarat. Pendekatan ini bertujuan untuk:
• Mendorong Dukungan Emosional: Meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mental melalui perhatian serta dukungan bersama.
• Membangun Lingkungan yang Inklusif: Menciptakan komunitas di rumah, tempat kerja, dan masyarakat yang suportif dalam mengelola stres.
• Mengurangi Stigma: Menyuarakan pesan bahwa mencari dukungan kesehatan mental adalah langkah positif yang seharusnya tidak dipandang sebelah mata.
• Menggalakkan Pola Hidup Sehat: Mendorong praktik perawatan diri seperti meditasi, olahraga, dan manajemen waktu guna mereduksi dampak negatif stres.
Apa Itu Stres?
Stres adalah respons fisiologis dan psikologis yang muncul ketika seseorang menghadapi tantangan atau tekanan, dinilai melebihi kapasitasnya untuk mengatasi. Stres dapat bersifat akut (jangka pendek) maupun kronis (berkepanjangan). Secara biologis, stres direspon melalui aktivasi sistem saraf simpatik yang meningkatkan produksi hormon seperti epinefrin dan norepinefrin, yang kemudian memicu peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan metabolisme.
Namun, bila stres berlangsung lama, hormon seperti kortisol yang dilepaskan secara terus-menerus dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko berbagai gangguan kesehatan.
Dampak Stres terhadap Kesehatan
Stres kronis telah terbukti memicu berbagai penyakit, baik fisik maupun mental. Beberapa dampak yang signifikan meliputi:
• Penyakit Kardiovaskular:
Stres meningkatkan risiko hipertensi, serangan jantung, dan stroke. Data Global Burden of Disease menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular di Indonesia meningkat dari 292 ribu pada tahun 1990 menjadi 659 ribu pada tahun 2019. Indonesia juga mencatat angka DALYs yang tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya.
• Gangguan Mental:
Depresi, kecemasan, dan insomnia sering dipicu oleh stres berkepanjangan. Prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia pada penduduk usia di atas 15 tahun meningkat dari 6% (2013) menjadi 9,8% (2018). Menurut SKI 2023, 1,4% penduduk usia > 15 tahun di Indonesia mengalami depresi dan hanya 12,7% yang mengakses layanan kesehatan. Secara global, WHO melaporkan lebih dari 264 juta orang menderita depresi.
• Gangguan Pencernaan:
Kondisi seperti sindrom iritasi usus besar (IBS) dan refluks asam lambung (GERD) juga terkait dengan stres kronis.
• Obesitas, Diabetes, dan Penyakit Autoimun:
Kadar kortisol yang tinggi memengaruhi metabolisme dan kadar gula darah, yang dapat menyebabkan obesitas dan diabetes. Selain itu, pelemahan sistem kekebalan tubuh meningkatkan risiko penyakit autoimun seperti lupus dan rheumatoid arthritis.
Kerugian Ekonomi dan Produktivitas
Stres tidak hanya memberikan dampak kesehatan, tetapi juga berdampak besar pada produktivitas dan ekonomi:
• Kerugian Ekonomi Global:
Menurut laporan WHO, stres yang terkait dengan depresi dan kecemasan menyebabkan hilangnya sekitar 12 miliar hari kerja setiap tahun, sehingga berdampak pada kerugian ekonomi global sekitar 1 triliun dolar AS per tahun.
• Penurunan Produktivitas:
Kondisi kerja ekstrem, seperti paparan suhu tinggi akibat stres, diperkirakan dapat menyebabkan kerugian hingga 2,6% dari PDB global pada tahun 2100 dan mencapai hingga 0,7% dari PDB tahunan di beberapa negara.
• Biaya Kesehatan:
Biaya langsung (obat-obatan, konsultasi, administrasi) dan tidak langsung (kehilangan produktivitas) akibat gangguan jiwa karena stres mencapai Rp 87,5 triliun per tahun di Indonesia, sementara di Amerika Serikat menelan biaya miliaran dolar setiap tahunnya.
Strategi Mengatasi Stres
Penanganan stres memerlukan pendekatan terintegrasi yang mencakup peran individu, lingkungan kerja, dan pemerintah.
Untuk Individu
• Teknik Relaksasi: Lakukan latihan mindfulness, meditasi, atau yoga.
• Pola Hidup Sehat: Konsumsi makanan bergizi, rutin berolahraga, dan cukup tidur.
• Dukungan Sosial: Bangun hubungan yang sehat, dan jika perlu, ikuti program komunitas seperti Pertolongan Pertama Pada Luka Psikologis (P3LP).
• Manajemen Waktu dan Bantuan Profesional: Atur jadwal dengan realistis dan segera konsultasikan psikolog jika stres terasa berat.
Untuk Tempat Kerja
• Lingkungan Kerja yang Mendukung: Ciptakan budaya kerja inklusif dan empati untuk kesejahteraan mental.
• Program Kesejahteraan Mental dan Kebijakan Fleksibel: Sediakan layanan konseling, ruang istirahat, serta opsi kerja dari rumah atau jam kerja fleksibel.
• Komunikasi dan Evaluasi: Terapkan pertemuan rutin dan evaluasi beban kerja untuk menghindari burnout.
Untuk Pemerintah
• Kebijakan Kesehatan Mental Nasional: Integrasikan layanan kesehatan mental dalam sistem perawatan umum.
• Edukasi dan Literasi Kesehatan Mental: Lakukan kampanye edukasi untuk mengenali tanda-tanda stres dan menangani secara dini.
• Pengembangan Layanan Komunitas dan Dukungan Ekonomi: Bangun layanan dukungan psikologis dan sediakan bantuan finansial bagi kelompok rentan.
• Investasi riset: Galang penelitian untuk mengembangkan intervensi berbasis bukti yang efektif.
Penting bagi pemerintah untuk terus belajar dari praktik terbaik (benchmarking) yang diterapkan di negara lain sebagai bagian dari strategi pencegahan dan penanganan stres.
Beberapa contoh benchmarking internasional antara lain:
• Negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Denmark):
Mereka tidak hanya menyediakan akses luas terhadap layanan kesehatan mental, tetapi juga menerapkan kebijakan kerja fleksibel dan menjaga keseimbangan kehidupan kerja. Program dukungan kesehatan mental di negara-negara tersebut telah terbukti menekan tingkat stres melalui fasilitas pelayanan psikologis yang mudah diakses dan pelibatan aktif serikat pekerja.
• Singapura:
Mereka mengadopsi praktik terbaik global untuk meningkatkan kompetensi pegawai melalui pelatihan intensif, termasuk dalam aspek dukungan kesehatan mental. Kebijakan yang responsif dan terintegrasi ini telah menjadi model bagi banyak negara yang ingin meningkatkan kinerja aparatur publik sekaligus menjaga kesejahteraan mental.
• Australia:
Australia mengintegrasikan layanan kesehatan mental dalam sistem kesehatan nasionalnya melalui program intervensi dini, kampanye edukasi, dan kolaborasi lintas sektor. Proses benchmarking yang dilakukan membantu Australia menyesuaikan model intervensi dengan kondisi lokal serta menghasilkan kebijakan yang lebih efektif dalam mengurangi dampak stres pada masyarakat.
Kesimpulan
Stres merupakan tantangan kompleks yang memengaruhi kesehatan, produktivitas, dan ekonomi. Melalui peringatan Stress Awareness Month dan tema #LeadWithLove, diharapkan kita semua—baik individu, tempat kerja, maupun pemerintah—dapat bersama-sama mengembangkan strategi terintegrasi untuk mengatasi stres. Pembelajaran dari praktik terbaik negara lain melalui benchmarking juga menjadi kunci untuk merumuskan kebijakan inovatif guna meningkatkan kesejahteraan mental secara menyeluruh.
Mari jadikan bulan ini sebagai momentum refleksi dan aksi nyata untuk tidak hanya mengatasi stres, tetapi juga membangun ketahanan bersama dalam menghadapi dinamika global dan tantangan ekonomi saat ini.