
SETELAH terusir dari wilayah Gaza utara yang porak-poranda dibombardir Israel sejak 8 Oktober tahun lalu, ratusan ribu pengungsi Palestina yang saat in berada di wilayah Rafah, Gaza selatan harus angkat kaki menjelang serbuan pasukan darat Israel.
Bombardemen juga terus dilancakan pesawat-pesawat tempur Israel ke wilaha sekitar Rafa yang bakal dilanjutkan penyerbuan oleh pasukan darat negara Yahudi itu.
“Lebih 100-ribu warga Palestina telah meninggalkan Rafah yang berada di bawah ancaman serangan darat besar-besaran Israel, “ ungkap Koordinator Darurat UNICEF di Jalur Gaza, Hamish Young kepada AFP (10/5).
Pasukan Israel, Senin (6/5) telah mengeluarkan perintah evakuasi bagi warga Palestina di Rafah yang mengindikasikan menjadi sebuah langkah yang dipandang sebagai awal serangan Israel ke kota tempat berteduh sekitar 1,5 juta pengungsi Palestina itu.
Sehari kemudian, pasukan Israel (IDF) menguasai perbatasan Rafah yang menghubungkan Gaza dan Mesir, sehingga menutup semua lalu lintas darat.
Israel menggempur Jalur Gaza sejak 8 Okt. 2023 sebagai aksi pembalasan atas serangan Hamas ke Israel selatan sehari sebelumnya pada 7 Oktober tahun lalu yang menewaskan sekitar 1.200 warganya dan menyandera 240 orang lainnya.
Aksi pembalasan jauh lebih brutal yang dilancarkan Israel ke jalur Gaza utara sampai hari ini diperkirakan telah menelan korban 35.000 warga palestina dan milisi Hamas serta melukai 78.500 orang lainnya.
Israel menggambarkan Rafah sebagai benteng terakhir Hamas setelah tujuh bulan perang, dan para pemimpinnya berulangkali mengatakan mereka perlu melancarkan invasi darat untuk mengalahkan Hamas walau rencana itu dikecam oleh konco utama Israel, AS yang melarang senjata yang diberikannya digunakan menyerang Rafah.
“Saat serangan pasukan Israel meningkat ke Rafah, pengungsian paksa terus berlanjut,” kata UNRWA seraya menambahkan, “Tidak ada tempat yang aman di Jalur Gaza dan kondisi kehidupan di sana sangat buruk.
Penggunaan senjata AS
Pemerintahan Biden, Jumat (10/5) mengatakan, penggunaan senjata yang dipasok AS oleh Israel di Gaza kemungkinan besar dianggap telah melanggar hukum kemanusiaan int’l.
Sikap AS mengritik Israel yang merupakan sekutu utamanya merupakan langkah besar, walau mengakui, kekacauan perang di Gaza, membuat mereka tidak dapat memverifikasi contoh-contoh spesifik penggunaan senjata-senjata AS yang melanggar hukum int’l.
Penilaian yang tampak kontradiktif itu muncul dalam laporan Kemlu AS kepada Kongres AS, yang diwajibkan dalam National Security Memorandum (NSM-20) yang dikeluarkan oleh Presiden Joe Biden awal Februari.
“Mengingat ketergantungan signifikan Israel pada AS, masuk akal untuk menilai, alutsista yang tercakup dalam NSM-20 telah digunakan Israel sejak 7 Oktober dalam kasus-kasus yang tidak sesuai dengan kewajiban hukum humaniter int’l atau dengan praktik terbaik yang telah ditetapkan untuk mengurangi kerugian warga sipil,” kata Kemlu AS dalam laporan yang dikutip Sky News.
Disebutkan lebih lanjut, Israel belum memberikan informasi lengkap untuk memverifikasi apakah alutsista AS yang tercakup dalam NSM-20 secara khusus digunakan dalam tindakan yang dituduhkan sebagai pelanggaran hukum humaniter int’l, HAM int’l di Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur selama periode laporan itu. (Berbagai sumer/ns)