
PENGAPLINGAN kawasan laut sepanjang 31 Km di perairan Tangerang, Banten yang membuat heboh, pantas terjadi mengingat tumpang tindihnya peran belasan lembaga yang berwenang menangani keamanan laut.
“Ada 13 lembaga yang diberi kewenangan menjaga keamaman wilayah laut, namun koordinasinya sangat lemah, “ kata Wamenko Polkam Lodewijk F Paulus dalam Rapat Kerja dengan Komisi I di DPR, Selasa (11/2).
Bahkan, ujarnya, kewenangan yang dimiliki masing-masing lembaga memicu kecenderungan ego sektoral, mengingat 13 lembaga itu punya tugas dan wewenang masing-masing yang dilindungi Undang-Undang.
“Enam di antaranya memiliki armada kapal,” ujar Lodewijk seraya menambahkan , dengan kewewenangan aturan yang dilindungi undang-undang, yang keluar malah ego sektoral masing-masing,” ujar wamenko Polhukam.
Bakamla adalah badan yang bertugas menjaga keamanan dan keselamatan di wilayah perairan RI yang di dunia int’l bernama lokal Coast Guard (ICG), walau faktanya instansi yang memiliki tugas seperti Bakamla tak hanya satu.
Badan yang berwenang atas keamanan laut Indonesia a.l. TNI-AL, Polisi Air, Bea Cukai (BC), Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP).
Politikus Golkar itu menilai bahwa kondisi tersebut pada akhirnya berdampak pada tidak optimalnya pelaksanaan fungsi pengamanan laut.
“Karena masing-masing merasa yang berwenang, mereka terkadang melakukan tindakan tanpa melihat kepentingan yang lebih besar,” ujar Paulus.
Banyaknya lembaga yang berwenang dalam keamanan laut (ternyata) belum mampu mengurangi permasalahan di wilayah perairan Indonesia.
“Akibatnya, negara harus merugi puluhan triliun rupiah setiap tahun, “ tuturnya seraya merinci, Indonesia dalam setahun kehilangan Ro 40 triliun yang dicuri negara asing.
Sebabnya? karena aparat berwenang memang belum atau tidak mampu mengawasi yuridiksi Indonesia terutama di wilayah laut,” katanya.
Bakamla banci
Sementara itu Paulus bahkan menyebut Bakamla sebagai institusi “banci” karena tidak mampu mengoordinasikan dengan cepat peegakan hukum di kawasan laut Indonesia.
Banyaknya instansi yang terlibat dalam menjaga keamanan laut itu faktanya justeru dinilai menghambat koordinasi dan memicu tumpang tindih di lapangan.
Paulus mengakui, aturan yang mengatur tata kelola keamanan laut masih terfragmentasi, sehingga penegakan hukum di perairan nasional belum optimal.
Ia mencontohkan lemahnya koordinasi antaraparat penegak hukum di laut. Dulu sudah ada Bakorkamla, tapi dibubarkan jadi Bakamla. Setelah Bakamla dibentuk, wewenang koordinasi ada, tetapi tidak punya wewenang penegakan hukum.
“Kebayang enggak, di kawasan laut ZEE. Misalnya ada kapal yang ditangkap. Dibawa ke darat (pelabuhan-red), ditangani oleh enam lembaga yang punya kewenangan sendiri-sendiri, “ tuturnya.
Selain tumpang tindih, banyaknya instansi yang menangani pengawasan laut juga menguras biaya besar, selain untuk SDM, juga sarana dan prasarana terutama armada kapal yang pengoperasian dan perawatannya berbiaya tinggi.