DALAM dunia perwayangan, jabatan patih selalu menjadi dambaan. Padahal jika sudah menjadi patih, posisinya justru mentok, tak mungkin naik lagi. Lihat saja nasib Patih Sengkuni, Patih Pragota, Patih Tuhayata, Patih Jayanirbita, Patih Udawa, Patih Suwanda; mereka tak bisa naik lagi menjadi raja. Bahkan yang disebut terakhir itu, saking ambisinya menjadi raja Maespati, dia malah mati. Leher putus terkena gigit Prabu Dasamuka raja dari Ngalengkadiraja.
Penguasa kahyangan Betara Guru yang belakangan juga suka blusukan macam Presiden Jokowi, sangat memahami “penderitaan” para patih tersebut. Sebagai titah ngercapada, para patih kan juga ingin peningkatan karier. Masak seumur-umur jadi patih terus, sekali-sekali kan pengin menjadi raja. Tapi mana mungkin dalam sebuah negara ada dua raja? Atau jika mau ekstrem, mendongkel posisi raja definitip? Jelas itu di luar tatanan demokrasi kerajaan.
“Kalau begitu, kedudukan raja dilelang saja. Siapa paling bagus, dia bisa dijadikan raja pengganti.” Saran Patih Narada dalam sebuah sidang di Jonggring Salaka.
“Mana mungkin, raja kan jabatan turun temurun. Yang di luar dinasti jangan mimpi jadi raja, salah-salah malah kena rajasinga.” Tangkis Hyang Betara Guru.
“Siapa bilang? Di Kraton Yogyakarta Hadiningrat, putri raja bisa dipromosikan sebagai calon Sultan HB XI.” Betara Narada terus ngeyel.
Sebagai penguasa kahyangan dan umat ngercapada, Betara Guru berusaha keras untuk mengubah nasib para patih itu. Maka setelah ditimbang-timbang untung ruginya, Betara Guru memberi petunjuk agar diterbitkan Wahyu Makutharaja. Barang siapa yang memperoleh wahyu tersebut, pada saatnya nanti bakal menjadi raja definitip di sebuah negara, apa pun nama negerinya. Tapi tak sembarang titah ngercapada yang bisa berburu wahyu tersebut, dia harus seorang patih sebuah negara, minimal 5 tahun menjabat.
“Biarpun sudah lama menjabat, jika pernah jadi narapidana korupsi, bagaimana boss?” tanya Betara Narada lagi.
“Oh, nggak papa. Kan MK mengizinkan, sepanjang mau bikin pengumuman di koran bahwa pernah jadi napi korupsi.” Penjelasan Sanghyang Betara Guru.
Demikianlah kebijakan dari Jonggring Salaka. Tapi karena wahyu hanya satu dan jumlah patih cukup ombyokan, harus diseleksi melalui sebuah konvensi. Bagi mereka yang lulus konvensi para patih, dialah yang berhak ikut berburu Wahyu Makutharaja. Prosedurnya tak jauh beda dengan Wahyu Cakraningrat tempo dulu. Siapa saja yang kewahyon (kemasukan wahyu) itu secara permanen, dialah yang bakal menjadi raja sebuah negara.
“Kok namanya mirip-mirip Wahyu Makutharama tempo doeloe?” Betara Narada mencoba mengkritisi.
“Ini memang kemasan lama, tapi paradigma baru.” Jawab Betara Guru.
Sekretaris kahyangan Betara Penyarikan segera bikin pengumuman tentang akan dibukanya konvensi para patih, sebagai pintu masuk menerima Wahyu Makutharaja. Ternyata tak ada patih yang berminat, kecuali Patih Bestak dari wayang golek dan Patih Logender dari wayang krucil. Karena mazab dan aliran wayangnya beda, terpaksa dua patih tersebut ditolak mentah-mentah.
“Sudah jelas-jelas bukan golongannya, kok mau ikut-ikutan. Dasar wayang, mau cari kesempatan saja kalian.” Sindir Patih Narada.
“Ya, namanya juga usaha.” Patih Bestak dan Patih Logender kembali ke kotak masing-masing.
Jika program ini sampai gagal, mau ditaruh mana muka Sanghyang Betara Guru selaku pencetus ide. Karenanya tak peduli dianggap sumur lumaku tumimba, Betara Guru memberi petunjuk pada Betara Narada agar para patih dihubungi langsung satu persatu. Paparkan nilai plus konvensi itu, sehingga mereka kemudian tertarik. Dan sampaikan juga, menjadi peserta konvensi patih sama sekali tidak ditarik mahar.
Berkat petunjuk Bapak Betara Guru tersebut, sejumlah patih mencatatkan diri ikut, di antaranya Udawa dari Dwarawati, Pragota dari Mandura, Sengkuni dari Ngastina, Pancatnyana dari Trajutrisna, dan Tuhayata dari Mandaraka. Beberapa hari ini mereka sibuk urus SKCK (Surat Keterangangan Catatan Kepolisian) di Polda Metro Jaya. Perlu digarisbawahi di sini, dalam dunia wayang jejak korupsi hanya dicatat di Kejaksaan dan KPK saja.
“Eh kakang Narada, kenapa patih Pancatnyana yang raksasa kamu undang juga? Kan malah nakut-nakutin wayang lain?” tegur Betara Guru.
“Biar raksasa, dia kan patih, jadi berhak.”
Demikianlah, berkat undangan dari komite konvensi, tercatat ada 15 patih yang siap ikut konvensi. Mereka cukup dikenal di negerinya masing-masing. Cuma, menjelang seleksi dimulai, Patih Udawa dari Dwarawati mundur mendadak. Sebab diancam oleh Prabu Kresna, jika nekad ikut Konvensi Patih, posisinya sebagai Patih Dwarawati akan dipecat tanpa ampun.
“Kamu ikut, pasti saya copot. Meski ikut konvensi kamu tak ada jaminan dapat Wahyu Makutharaja, karena tidak dapat dukungan 100 kiyai. Pilih mana?” gertak Prabu Kresna.
“Waduh, berat. Daripada jadi Lebai Malang, mending nggak jadi ikut deh.” Kata Patih Udawa.
Sampai hari H, peserta tinggal 10 orang. Dari ke-10 peserta tersebut, paling digadhang-gadhang justru Patih Sengkuni dan Pragota. Ukurannya, keduanya baru saja menerima bintang mahaputra, sehingga mereka dijamin sebagai putra terbaik bangsa. Soal Sengkuni itu tukang catut proyek, kan hanya isyu dan tak pernah menjadi kasus yang berujung di pengadilan Tipikor. Maklum, setiap ajukan praperadilan selalu lolos dan menang dia.
Seleksi awal para peserta konvensi hanya diminta menjelaskan jumlah harta kekayaannya dan dari mana sumbernya. Tapi bagi mereka yang kekayaannya sangat fantastis, asal dijawab warisan dari mertua, selesailah sudah. Sebab komite konvensi memang bukan KPK, sehingga tak perlu njlimet ngurus kekayaan orang. Jika ada pertanyaan soal harta, sebenarnya hanya sekedar formalitas.
“Suka main golf tidak?” kata anggota komite pada Patih Pragota.
“Suka banget sih tidak, sekedar ngguyubi relasi. Tapi percayalah, saya tidak pernah main golf dengan makelar proyek.” Jawab Patih Pragota memberikan garansi.
Hari kedua konvensi baru semarak, karena para peserta mulai memaparkan misi dan visinya jika nanti memenangkan Wahyu Makutharaja. Patih Sengkuni misalnya, atas pertanyaan anggota komite menjawab bahwa hasil kekayaan alam dipergunakan untuk kemakmuran rakyat seluas-luasnya. Karenanya jika ada pejabat memainkan harga BBM, akan disikat habis.
“Katakan tidak pada korupsi,” kata Patih Sengkuni yakin.
“Ah, itu program jiplakan. Nanti sampeyan dan anak buah malah korupsi ramai-ramai,” sindir Narada selaku anggota komite penyeleksi.
Hanya makan waktu seminggu, para peserta konvensi patih sudah selesai menyampaikan visi dan misinya. Menurut keputusan komite, dari 10 peserta tersebut yang bisa berburu Wahyu Makutharaja tinggal separo, masing-masing: Sengkuni, Jaya Nirbita, Tuhayata, Pragota dan Pancatnyana. Tapi tokoh terakhir ini dianulir, karena ketahuan bahwa ada intevensi dari Betari Durga. Dia sempat telepon pada Betara Guru dan minta agar patih Trajutrisna ini diloloskan.
“Komite sudah tidak netral,” protes peserta yang digugurkan.
“Jangan-jangan Betara Guru punya filosofi “wani pira”?” sindir peserta lainnya.
Walhasi, hanya tinggal 4 peserta yang berhak berburu Wahyu Makutharaja, yang mulai diluncurkan malem Jumat Kliwon. Mereka diminta tirakatan di posko masing-masing. Nanti wahyu yang mengutamakan azas kejujuran, akan menclok pada peserta konvensi yang benar-bejar jujur tidak doyan suap. Cuma, jika peserta tidak kuat iman, wahyu itu akan kabur dan gagalah si calon menerima wahyu. (Ki Guna Watocarita)
