SEBUT saja namanya Ani, korban kekerasan seksual di Samarinda, Kalimantan Timur yang dijadikan “piala bergilir” selama dua bulan oleh kawanan supir angkot di kota tersebut baru-baru ini.
Kisah tragis berawal ketika Ani, remaja putus sekolah SD berusia 12 tahun berasal dari keluarga tidak harmonis dan orangtua mengalami kesulitan ekonomi, naik angkot di kota Samarinda yang disupiri R.
Singkat cerita, R memanfaatkan peluang saat Ani menyatakan sedang mencari kerjaan, kemudian R menyerahkan Ani ke rekan-rekannya, sebagian besar pengemudi atau kenek angkot dan Ani pun menjadi korban kebiadaban mereka, berpindah tangan selama dua bulan.
Korban yang mengalami guncangan jiwa saat ini diamankan di panti sosial di Samarinda, dan berdasarkan pengakuannya yang berubah-ubah karena dalam kondisi labil, ia menyebutkan, pelaku pemerkosaan berjumlah 13 orang.
Tidak diketahui persis peyebabnya, kenapa keluarga tidak melapor ke polisi setempat, malah berusaha sendiri mencari keberadaan Ani kesana-kemari, seangkan polisi mengaku, walau pun kejadian itu tidak dilaporkan, mereka berinisiatif merespons informasi hilangnya korban.
Di tempat terpisah, di Karanganyar, Jawa tengah polisi (20/3) menciduk F (29), tersangka pelaku pencabulan terhadap 16 anak laki-laki yang dilakukannya sejak 2003.
Polda Metro Jaya pekan lalu berhasil membongkar jaringan pedofil, Official Loli Candy’s Group dengan anggota lebih 7.000 orang dari lintas-negara yang melibatkan sindikat internasional. Empat tersangka pengelola akun Facebook dan seorang yang menggugah konten porno masih didalami kasusnya oleh polisi.
Selain sebagai pengatur lalu-lintas (Admin) Facebook, seorang diantara tersangka melakukan pelecehan terhadap sejumlah bocah berusia antara tiga sampai delapan tahun, mengambil foto atau merekam aksi menyimpangnya itu, kemudian mengunggahnya ke grup Facebook.
Semakin meningkat
Merebaknya kasus kekerasan seks pada anak-anak dan pemanfaatan anak-anak dalam kegiatan pornografi sangat mencemaskan para orang tua, walaupun di sisi lain juga menunjukkan mulai munculnya kesadaran dan keberanian publik melapor pada polisi.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menyebutkan, pada 2014 tercatat 6,36 persen anak laki-laki dan 6,28 persen anak perempuan (berusia di bawah 18 tahun) atau sekitar 400-ribu anak-anak dari total 87 juta anak-anak di Indonesia mengalami kekerasan seksual.
Sedangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan, sepanjang 2016 menerima 3.581 pengaduan masyarakat terkait kekerasan seksual pada anak-anak, 414 kasus diantaranya terkait kejahatan berbasis siber.
Selain orang tua yang tidak berani melaporkan, karena menganggap kasus yang menimpa anaknya adalah aib bagi keluarga, atau menganggap laporan anaknya berlebihan sehingga tidak ditanggapi. Lemahnya penegakan hukum juga ikut memberikan andil maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak.
Begitu pula dengan keengganan sebagian aparat kepolisian menindaklanjuti laporan masyarakat, bahkan ada oknum yang menawarkan mediasi dengan pihak pelaku, lemahnya pengawasan publik, lingkungan warga, RT, RW dan para orang tua.
Dari sisi peraturan, UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2016 tentang perubahan kedua atas UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah hampir setahun diundangkan.
UU tersebut memuat pemberatan sanksi pidana dan penyebarluasan identitas pelaku serta ancaman hukuman tambahan berupa kebiri dengan zat kimia serta pemasangan alat deteksi elektronik bagi pelaku dewasa.
Predator kekerasan seksual pada anak-anak berkeliaran dimana-mana, di ruang publik dan dunia maya, di sekitar tempat tinggal, bahkan juga di dalam rumah kita.
Tidak ada cara lain. Para orang tua, lingkungan ketetanggan, perangkat desa mulai RT, RW sampai kelurahan harus wapada, dan harapan juga disandarkan pada aparat kepolisian agar lebih proaktif dan tanggap mengantisipasi dan bersikap tegas terhadap kejahatan yang menjadi predator anak-anak itu.