Yogyakarta, Benteng Republiken

Saudaraku, waktu tak terasa menyentuh tengah malam, terlena intens mendiskusikan strategi penguatan cerlang budaya lokal
bersama ngarso dalem, Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Menziarahi Yogyakarta memang ibarat napak tilas ke jantung semangat republiken. Daerah istimewa ini bukan sekadar kota propinsi—ia adalah nyala spirit revolusi kemerdekaan yang apinya harus senantiasa terjaga. Di setiap sudutnya, riwayat bangsa terukir, terpahat dalam tembok-tembok tua, dalam jalanan yang mengalun bersama deru becak dan gemuruh rindu para pejuang.

Di bawah langit yang kadang muram, ia pernah menjadi pijakan terakhir republik yang nyaris tumbang. Ibukota yang disandarkan pada pundaknya, dijaga dengan tekad, dikukuhkan dengan darah, ditopang oleh tangan-tangan rakyat yang tak gentar menghadang badai.

Keraton menjadi saksi, di mana raja bukan hanya pemangku adat, tapi penjaga marwah negeri. Malioboro menjadi nadi, tempat perlawanan merayap di bawah remang lampu minyak, di sela-sela seruan merdeka yang disuarakan tanpa suara.

Di Yogya, waktu berjalan seperti kidung—pelan, tapi abadi. Sejarahnya tak pernah usang, mengalir di sungai-sungai yang membelah tanahnya, bersemayam dalam hati mereka yang tak lupa.

Yogyakarta, benteng republiken, tempat kenangan bukan hanya masa lalu, tapi janji yang tetap hidup dalam nafas bangsa.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here