spot_img

BANJARAN DURNA (66)

KEPERGIAN Prabu Baladewa ke Grojogan Sewu memang mendadak sekali. Kini raja Mandura ini telah mungkur kadonyan (meninggalkan duniawi). Istana ditinggalkan, istri cantik Erawati juga tak dipamiti, begitu juga Patih Pragota. Kepada wrangka dalem (patih) Mandura itu Prabu Baladewa hanya kirim WA, isinya titip negara beserta mamanya Wisatha (Dewi Erawati). “Lanjutkan program-program saya, kau jangan jadi antitesa macam Capres Anies ya…..,” kata Prabu Baladewa.

Kepada raja Ngastina Prabu Duryudana, sama sekali tak kirim pesan atau pamitan. Tapi karena selama ini raja Mandura memang pro Pendawa meski selalu hadir dalam sidang-sidang istana Gajahoya, ketidakmunculannya secara misterius itu dianggap Prabu Baladewa sudah menyeberang, terang-terangan mendukung Pendawa menjelang Baratayuda. Karenanya Prabu Duryudana menganggap Baladewa sudah seperti Surya Paloh, mitra koalisi tapi dukungannya ke pihak lain.   

“Sebaiknya dicek dulu, anak prabu. Siapa tahu Prabu Baladewa sakit atau sedang  naik haji Furoda.” Kata Patih Sengkuni.

“Nggak usah di Cuni. Baladewa dari dulu memang begitu, selalu berpihak pada Pendawa. Maka jika dia memang sudah bergabung dengan Pandawa, malah untung kita. Rahasia-rahasia dalam rapat takkan bocor ke Ngamarta.” Kata Pendita Durna memotong pembicaraan Patih Sengkuni yang tadinya diarahkan untuk Prabu Duryudana.

Semenjak Perang Baratayuda Jaya Binangun (PBJB) berkecamuk, Perguruan Sokalima Beragama tidak aktif karena terkena Libur Panas. Para murid atau peserta didiknya yang sudah dewasa atau masuk kategori genzet, wajib ikut berperang membela kubu Ngastina. Jangan salah, genzet adalah generasi Z yang berusia 17 tahun sampai 26 tahun, bukan genset pembangkit listrik cadangan manakala listrik PLN sedang kesambet macam istilahnya Cak Nun.

Begawan Durna kini lebih banyak ikut rapat-rapat di pesanggrahan Bulupitu, hunian sementara para petinggi Ngastina selama Perang Baratayuda. Sebagai nujum atau penesehat raja, dia  harus bisa kasih masukan tentang strategi perang, agar kemenangan berpihak di kubu Ngastina. Jika perlu Begawan Durna harus turun gunung, yakni ikut bertempur demi kejayaan Ngastina, negeri yang telah memberi kamukten (kekayaan dan kehormatan). Maka doa Begawan Durna, jangan sampai dirinya yang terkena giliran. Maklum sudah balung tuwa (sudah tua), tenaganya tidak lagi rosa-rosa macam Mbah Marijan.

“Mbah Durna kapan dapat giliran perang, masak cuman nyuruh-nyuruh melulu.” Protes Durmagati seperti biasanya.

“Oo, bocah kurang pengalaman. Tokoh senior macam saya ini, lebih dibutuhkan otaknya ketimbang ototnya. Yang layak maju ke PPJB itu ya seperti Durmagati kamu sendiri. Jika memenangkan pertempuran, menambah kejayaan negeri Ngastina, jika mati dalam pertempuran ya idep-idep (itung-itung) mengurangi jatah makan.”

Durmagati hanya bisa misuh ala Butet Kartarejasa: asyu! Meski dia sering oposisi macam Fadlizon Gerindra, tapi dia sangat mencintai negeri Ngastina. Karenanya dia selalu siap manakala dibutuhkan menjadi senopati. Tapi mana mungkin panitia PBJB Kurawa sudi mengangkat Durmagati sebagai senopati? Jangankan bertempur dan memimpin peperangan, lha wong latihan baris berbaris saja salah melulu. Maklum, Durmagati keberatan badan, sehingga dia sering dibully sebagai ikan buntal Kurawa.

Begawan Durna terus memonitor jurnal PPJB. Senopati perdana Pendawa Resi Seta berhasil dikalahkan dan tewas oleh Resi Bisma. Kemudian begawan dari Talkanda ini berhasil ditewaskan oleh Wara Srikandi, sir-siran gagal Begawan Durna. Putri Pancala itu bisa mengalahkannya karena dibantu arwah Dewi Ambalika yang pernah ditolak cintanya oleh Resi Bisma.

“Mau mati saja masih belagu….!” gumam Begawan Durna sambil pegang HP.

“Siapa rama, mau mati masih kirim lagu?” kata Aswatama putra Sokalima, agak Bolot-an rupanya dia.

Begawan Durna lalu bercerita bahwa tokoh yang dimaksud adalah Resi Bisma. Tapi bukan mau kirim lagu, melainkan sok bijak sebagai begawan panutan. Ketika sudah mecati (sakratul maut)  minta disiapkan kasur dan bantal, sebagai persiapan dijemput Yamadipati. Kurawa lalu menyiapkan springbed dengan bantalnya yang putih mewangi, tetapi ditolak karena bukan itu maksudnya. Saat kubu Pendawa mengirim sejumlah senjata panah dan tumbak dalam kondisi dibongkoki (diikat), justru Resi Bisma tersenyum. Katanya, senopati gugur dalam perang kasurnya ya senjata semacam itu.

Ketika dalam berita detikcom diberitakan Trustajumena membentuk relawan Propen (Pro Pendawa), dada Begawan Durna berdegup keras. Sebab menurut Jangka Jayabaya, Begawan Durna nantinya akan mati oleh Trustajumena dalam kancah perang Baratayuda, karena putra Pancala itu kerasukan arwah Bambang Ekalaya yang mati muda karena dibunuh Begawan Durna.

“Nggak mungkinlah, Tustajumena kan pernah jadi muridku. Mana mungkin murid membunuh gurunya.” Gumam Begawan Durna lagi.

“Murid menganiaya gurunya  sampai tewas memang ada rama. Dia Ahmad Holili pelajar SMA di Sampang (Madura), dan korbannya Pak Cahyono guru seni.” Jawab Aswatama sambil tunjukkan HP miliknya yang baru saja menemukan berita itu tersebut lewat mesin Google.

Mak kranyasssss….., hati Begawan Durna seperti disiram air panas. Dia kemudian berdoa dalam hati, semoga Kitab Jitapsara tak menskenario Trustajumena lawan Begawan Durna. Taruhlah masuk skenario, semoga saja Prabu Duryudana tak tega mengirim dirinya ke Tegal Kurusetra menjadi senopati PBJB. Alasannya sudah udzur. Karenanya biarkan saja Capres udzur hanya dimonopoli oleh Prabowo dari Gerindra. (Ki Guna Watoncarita)

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles