KETIKA sukma Bethara Dwapara merasuk dalam tubuh Dewi Gandini, usia kandungan bayinya baru 7 bulan. Masa-masa ngidam yang kritis, karena biasanya sang ibu punya keinginan yang aneh-aneh. Ada yang ngidam makan mangga mengkel, ada yang ngidam pengin makan durian sekajar (sepotong). Bahkan ada pula yang kepengin ngelus gundul profesor. Padahal jaman sekarang, profesor botak dan pikun sudah tidak ada lagi ceritanya. Kalau profesor korup ketika menjadi rektor, ada noh di Lampung!
Dan Dewi Gandini emang beda! Dia tidak ngidam minta mangga mengkel, ngelus jidat profesor botak, tapi pengin njitak politisi bewokan yang jadi tersangka kasus korupsi. Orangnya ada, tapi mana KPK ngasih, dan partai Nasdem pasti marah jika kadernya yang sedang terpuruk malah dibuat mainan. Kasihan Syahrul Yasin Limpo, dia sedang lempe-lempe (capek) menghadapi kasus hukum, masak mau dibebani lagi dengan urusan yang melanggar HAM.
“Ya sudah, saya pengin njitak Surya Paloh saja, yang omongannya tak bisa dipegang. Katanya mau bubarkan partainya jika ada kadernya yang korupsi, tapi faktanya tak juga dibubarkan.” Jawab Dewi Gandari yang rupanya juga suka mengikuti berita politik di medsos.
“Itu juga nggak boleh, diajeng. Mending njitak orang bewok lainnya saja deh. Nanti ingsun bayar berapa juga mau.” Jawab Prabu Gandara demi membujuk istrinya.
Pada akhirnya Dewi Gandini mau mengalah. Sebagai tumbal ngidam sang permaisuri cukup njitak kepala agen gas melon 3 Kg dan dibayar Rp 1 juta. Bahkan dianya siap dijitak 9 kali lagi asalkan bayaran juga ditambah Rp 9 juta. Sebab jitak itu hanyalah jotosan lembut, bukan tempeleng yang sekali pukul bisa bikin orang masuk Rumah Sakit.
Demikianlah, sukma Bethara Dwapara tak bisa menolak ketika tuntutan ngidamnya diakal-akali. Akibatnya dia merasuk ke bayi Dewi Gandini jadi setengah hati. Mau pindah menitis ke Amien Rais, dianya belum diprogram atau istilah katanya masih di pucuk pring. Akhirnya suka tidak suka dia harus menetap lama dalam tubuh si bayi. Sebagai perwujudan kekecewaannya tersebut, dia akan berbuat lebih jahat ketimbang saat di Jonggring Salaka dulu.
“Wahai pukulun Sanghyang Tunggal, di ngercapada saya akan berbuat lebih jahat ketimbang di kahyangan….”, kata Bethara Dwapara dalam chatingnya pada Sanghyang Tunggal.
“Sesukak-sukak elo sajalah. Yang penting elo sudah tak mencemari peradaban di Jonggring Salaka.” Jawab Sanghyang Tunggal angin-anginan.
Bayi dalam kandungan Dewi Gandini 2 bulan kemudian lahir dengan selamat. Dia didaftarkan ke kantor Dukcapil dengan nama Haryo Suman, juga disebut Raden Gantalpati. Bayinya tampan dan imut-imut. Dengan kelahiran bayi itu, berarti Prabu Gandara sudah punya 3 anak, yang pertama namanya Aryo Gandariya, yang kedua Dewi Gendari, dan yang ketiga si Haryo Suman tersebut. Sejak itu sang prabu bertekad, tidak akan nambah anak lagi. Bagi Prabu Gandara, tiga anak cukup, laki perempuan sama saja. Anak ke-1 dan ke-2 dalam rangka sukseskan program KB, yang ketiga anak hasil hobi.
Haryo Suman sebagai anak raja berpengaruh, tumbuh dengan segala fasilitasnya. Karena putra raja, yang lebih micara (pinter omomg) ketimbang kakaknya, Prabu Gandara sampai berniat menjadikan Haryo Suman sebagai penerusnya kelak. Karena itulah namanya jadi cepat ngetop. Sampai-sampai dalam usia belum genap 30 tahun sudah ada yang membajaknya sebagai Ketum partai PNA (Partai Ngudi Arta). Karena jadi Ketum dadakan tersebut, orang yang tidak suka pada Haryo Suman menyebut Ketum itu sebagai kepanjangan: Ketua Tidak Umum.
“Dimas Haryo Suman, gara-gara elu mau jadi Ketum PNA, namamu rusak jadi bahan ledekan dan olok-olok orang. Lihat kakakmu ini, Dewi Gendari tak mau dijadikan Ketua DPR, tak mau pula dijadikan Menteri PMK. Soalnya tahu diri, masuk pupuk bawang kok harus jadi kordinator para menteri senior. Berat dan malu bagi saya….” kata Dewi Gendari sekali waktu.
“Itu namanya Mbakyu tidak bisa manfaatkan peluang. Padahal kata Mario Teguh, peluang itu hanya sekali datang. Jika tak diambil ya wasalamlah.” Jawan Haryo Suman seakan mencari pembenaran atas segala langkahnya.
Putra sulung Prabu Gandara mendengar celoteh kedua adiknya. Untung saja Aryo Gandariya itu bukan sosok ngirian. Meski putra sulung tak diplot jadi penerus tahta, tenang-tenang saja. Protes juga tidak. Dia fokus untuk menekuni bisnisnya roti bakery di Gandaria Kebayoran Baru, dan bisnis bakso di Gandaria Pasar Rebo. Kata Aryo Gandariya, mikir politik itu bikin mumet saja. Sebab jadi politisi sekarang orientasinya cari duit dan kekuasaan. Padahal tanpa jadi politisi pun duit juga mengalir asal tahu caranya.
Politik itu kebanyakan menghalalkan segara cara, yang tak mungkin dimungkin-mungkinkan dengan mengesampingkan moral dan tak peduli haram-batal. Di negara tetangga misalnya, tokoh pelanggar berat HAM, culik dan bunuh belasan aktivis, kok dielu-elukan jadi Capres. Sudah 2 kali ikut Pilpres kalah, eh masih mau ikut lagi dengan cara yang brutal. Bayangkan, anak daripada lawan dibujuk-bujuk agar mau jadi pendampingnya.
“Maka saya minta, dimas Haryo Suman jangan seperti itu. Kita butuh martabak, tapi jangan mengorbankan martabat.” Kata Aryo Gandariya menasihati adik bungsunya.
“Iya kangmas. Saya bertekad untuk tegak lurus ngurus PNA. Saya nggak mau kayak Budi Arie, Projo malah dijadikan projek lewat jalur A dan jalur B segala.”
Dewi Gendari manggut-manggut. Pengamatannya selama ini ternyata salah. Kakak sulung yang kelihatannya nggethu (fokus) ngurusi bisnis, ternyata juga mengikuti berita carut marut politik yang sedang terjadi. Dan Gendari juga sepakat jangan sampai Haryo Suman yang sudah jadi Ketum PNA itu terbawa arus, konsisten dengan nama partainya, cari duit melulu lewat partai untuk menumpuk kekayaan. (Ki Guna Watoncarita)