YANGON – Bencana banjir di Myanmar sejak Juni 2015 lalu telah menelan korban 88 orang tewas dan 330.000 orang berada dalam kondisi darurat yang membutuhkan bantuan mendesak.
Menurut Departemen Sosial, Bantuan dan Pemukiman, sebagian besar kematian dilaporkan di negara bagian Rakhine Barat, setidaknya 55 kematian di sana.
Banjir juga membunuh 4.650 sapi, 85.400 orang mengungsi dan telah menghancurkan 10.956 rumah dan merusak 88.120 hektar lebih lahan pertanian.
Dalam perkembangannya terbaru, banjir sudah mulai bergerak ke selatan dan kemungkinan akan menenggelamkan wilayah itu.
Kementerian Pertanian dan Irigasi telah mengumumkan bahwa semua bendungan di seluruh negeri akan terus berada dalam pemantauan, sejauh ini ditegaskan belum ada bendungan yang rusak.
Namun dilaporkan, 41 bendungan telah meluap karena kelebihan air, sementara 21 bendungan lain sudah hampir mendekati kapasitas maksimal.
Presiden Myanmar Thein Sein, dalam pidato radio untuk bangsa Jumat (7/8/2015) ini mengatakan, pemerintah telah membuat rencana untuk memulihkan daerah yang dilanda banjir sesegera mungkin.
“Pemerintah juga siap membantu petani dalam membajak tanah mereka dan menyediakan mereka bibit untuk menanam padi,” jelas presiden.
Menyikapi banjir ini, seperti dilaporkan Xinhua, federasi eksportir beras menghentikan sementara ekspornya sampai September 2015, untuk menjamin ketersediaan beras di dalam negeri.
Menurut Departemen Pertanian dan Irigasi, sekitar 344.493 hektar lahan pertanian terendam, yang negara bagian Rakhine paling menderita yang menyumbang lahan yang terendam, lebih dari 105.300 hektar.
Dari empat zona bencana yaitu Rakhine, Chin, Sagaing dan Magway, negara bagian Rakhine adalah kawasan bencana terburuk.
Beberapa negara Tiongkok, Jepang, Norwegia, Singapura dan Thailand telah berjanji untuk memberikan bantuan darurat kepada korban banjir Myanmar.
Sementara itu, pemerintah China juga mengumumkan menawarkan bantuan darurat senilai 10 juta yuan ($ 1.630.000) untuk membantu korban banjir di Myanmar.